Selasa, 30 Maret 2010

Sungguh-sungguh terjadi



KR, ya itulah koran yang begitu akrab di telinga mereka yang tinggal di Yogya atau kota-kota sekitar Yogya, lengkapnya harian Kedaulatan Rakyat tetapi sehari-hari orang lebih akrab menyebutnya KR saja. Suatu saat koran ini pernah “terpaksa” harus berganti nama karena aturan pemerintah Orde Lama yang mengharuskan semua koran di Indonesia berganti nama dengan nama tunggal Dwikora. Kedaulatan Rakyat tidak kurang akal. Untuk tidak kehilangan identitas KR, disiasatinya dengan cara memberi tekanan pada font-nya pada huruf Dwi KR dalam menulis nama Dwikora. Siasat yang patut diacungi jempol juga. Sampai hari ini Koran KR sudah berusia 62 tahun, mungkin salah satu Koran tertua di Indonesia yang masih tetap setia mengunjungi pembacanya.

Akhir tahun 70-an KR punya icon cerita bersambung karya SH Mintardja yang berjudul Nagasasra Sabuk Inten dengan tokoh sentralnya Mahesa Djenar dan Widuri. Saking terkenalnya cerita silat versi Jawa ini, diberitakan satu waktu pak Budiardjo yang saat ini menjabat sebagai Menteri Penerangan, dalam kunjungan kerja ke Jogya menyempatkan diri mampir ke Kantor KR sekedar membaca naskah cerita bersambung ini yang akan terbit beberapa hari ke depan. Buka main pak Menteri ini begitu ngefansnya.
Cerita bersambung berikutnya adalah Api di bukit Menoreh yang merupakan serial bersambung terpanjang dalam sejarah koran di Indonesia.

Tetapi bukan itu pokok bahasan saya, melainkan salah satu rubrik dalam koran KR, letaknya dari dulu di kolom paling kanan paling bawah di halaman depan, yaitu Sungguh-sungguh terjadi. Sejak saya mengenal dan membaca KR tahun 60-an sampai dengan hari ini, rubrik ini tidak pernah absen. Isinya adalah kisah pendek yang kadang lucu, kadang aneh, atau satu saat anekdot yang dikirim pembacanya dan sama sekali tidak ada unsur sindiran atau kritikan. Motivasi pembaca mengirim naskah ternyata macam-macam, antara lain karena bangga namanya ditulis di koran., hitung-hitung namanya pernah masuk koran. Soal honor menjadi nomer dua. Oleh karenanya KR tidak pernah kehabisan naskah pengisi rubrik ini. Inilah beberapa cuplikan Sungguh-sungguh terjadi yang saya kutip dari KR.

• Ketika kuliah di Inggris, setiap kali berkunjung ke rumah teman, saya sering dipijiti oleh tuan rumah. Nikmaat sekali. Eh, jangan salah sangka. Maksudnya, saya sering diberi minum teh berlabel “PG Tea” (baca : “pijiti”) oleh tuan rumah. Konon “PG Tea” itu berasal dari Indonesia. (Kiriman Ganjar Andaka, Jurusan Teknik Kimia, IST AKPRIND, Yogyakarta)

• Awal Maret 2010 ada warga Karanglewas, Purwokerto Barat, mengendarai motor matic Mio baru, muter-muter kampung. Kebetulan bertemu rombongan warga yang sedang mengantar jenazah ke pemakaman umum. Entah bagaimana keranda jenazah ditabrak hingga jatuh dan jenazahnya terguling di jalan umum. Si penabrak trauma peristiwa itu, tiap malam ketakutan, akhirnya motornya yang baru dibeli 2 hari itu, dijual murahRp.4 juta.
(Kiriman : Achmad Pujiyanto, Jalan Waru IV No.30, Tanjung Elok, Purwokerto Selatan, Jateng)

• Dewasa ini makin banyak lembaga melayani publik 24 jam. Di daerah Windan, Makamhaji, Kartasura, penjual es batu tidak mau kalah. Juragannya pasang tulisan begini : “Es batu on-line 24 jam”. Apa tumon ? (Kiriman : Danang Karyanta W, d.a. Glagah 14/07, Karangwungu, Karangdowo, Klaten 57464, Jateng).
• Khawatir tak bisa membiayai anak, kini banyak orang Jepang yang memutuskan untuk tidak punya anak. Sebagai gantinya, mereka memelihara anjing atau kucing. Menurut statistik 2009, di Jepang ada 12,3 juta anjing dan 10 juta kucing. Hebatnya lagi, disana ada kelas khusus untuk hewan peliharaan dan pemiliknya agar bisa saling berkomunikasi dengan baik. (Kiriman : Ridwan Arif Nugroho MA, Sleman, Yogya).
• Pada Oktober 2009 saya mendapat tugas menghadiri IULTCS XXXI Congress di Beijing, China. Alangkah kagetnya saya, pada jamuan makan malam di suatu Traditional Dancing Theatre, terdengar musik instrumental Bengawan Solo. Sontak saya teriak :”That is Indonesian song!”. Spontan teman-teman around table saya dari USA dan Jepang menyalami saya. Selamat Pak Gesang, semoga selalu sehat! (Kiriman : Ir. Suliestiyah Wiryodiningrat MM (BBKP Yogya), Perum II Jalan Delima D-15, Sidoaruim, Godean, Sleman, DIY 55564).
• Saya kaget campur geli ketika menerima undangan khitanan dari tetangga saya Sudomo SPd, karena seingat saya dia tidak pernah kuliah S-1 Pendidikan. Ternyata SPd yang dimaksud bukan gelar Sarjana Pendidikan, tetapi berarti “Sepeda”. Memang dia adalah juragan sepeda! (Kiriman: Wiranto Agus Sutopo, Jalan Anggodo III T No. 5, Perum Ayodya 1, Purwodadi Grobogan, Jateng).
• Jum’at pagi 12-03-2010 di lampu merah perempatan Klodran, Bantul, ada cewek mengendarai matic dengan tulisan di slebor begini :”Hari gini oper gigi?Cape deh!”. Eeeee, lha kok di samping agak belakang ada seorang Bapak manula pakai bebek di slebor belakangnya ditulisi :”Motor gak ada gigi? Tua ompong dong!” (Kiriman : Ndari, Temas, Tegallurung, Pandak, Bantul, DIY, 0274-414604).
• Pasti ada sebagian pembaca belum tahu arti patung kuda yang mengangkat kaki, karena semua itu ada artinya. Jika 2 kaki depan diangkat, orang yang nunggangin kuda itu tewas dalam pertempuran. Jika 1 kaki diangkat, penunggangnya meninggal karena luka dalam pertempuran. Dan bila kaki tidak diangkat, penunggangnua meninggal seara normal. (Kiriman : J. Suharto, Gedongkiwo MJ I/788 Yogya 55142).
• Saat ini sedang musim bupati dan keluarga pejabat ikut meramaikan bursa pemilihan kepala daerah. Yang paling menarik adalah di Kediri. Kedua istri bupati berebut posisi yang akan ditinggalkan suaminya. Andai ada yang beistri 4 dan semua ikuit pemilukada, pasti tambah gayeng dan seru! (Kiriman : Sarwono, Kembaran RT 03 Tamantirto, Kasihan, Bantul, DIY 551830)
• Saudaraku punya murid namanya Yois Iki Malahane. Selain itu, ketika saya membayar pajak motor di Samsat beberapa waktu yang lalu, bareng sama orang namanya … Di Hari Kartini. Keduanya cewek. Luar biasa! Nama mereka unik dan tidak ada duanya. Dan mereka bangga pada nama mereka. (Kiriman : Sigit Dwi Andrianto, d.a. Karanganyar MG 3/1277, Yogya 55153).
• Pada 9-11 Maret 2010 lalu, rombongan kami berkunjung ke STAIN Purwokerto. Naik KA Logawa. Pas diatas gerbong, ada penjual teriak-teriak begini : “ Obat ganteng, obat ganteng! Cuma Rp.2000 saja!”. Karena penasaran, kami menoleh. Ternyata, yang disebut “obat ganteng” adalah sisir rambut!. (Kiriman : Bramma Aji, Fakultas Dakwah, UIN Sunan Kalijaga, Yogya).
• Mungkin karena tak mau kalah dengan pebisnis yang pakai nama “Indo”, pemilik warung di sebeleh timur kampus Mercu Buana Jl. Wates Km 19 Yogya, pasang nama begini :” INDOWARUNG. Ini Warung Harga Grosir”!.
• Kesebelasan sepakbola Indonesia memang tidak bisa ikut Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan. Namun kita patut berbangga, karena salah satu tim unggulan, yaitu Brazil, akan memakai kaos buatan Indonesia. Karena di kerah tim Brazil tulisannya “Made in Indonesia”, “Fabrique en Indonesia”. (Kiriman : Andri Nurdianto, Jl. DI Panjaitan 110, Yogya 55141).

Minggu, 28 Maret 2010

Jangan salah, klithikan, bukan klithihan

Dari Magelang saya nik bis Semarang-Yogya, turun di terminal Jombor, langsung masuk shelter bis Trans Yogya, memang inilah moda trtasportasi favorit saya setiap saat ke Yogya dengan tujuan manapun. Tujuan saya kali ini ke pasar Klithikan, naik jalur 2B, transit jalur 3 A di shelter hotel Garuda, transit lagi ke jalur 2B di shelter KHA Dahlan, turun di shelter Wirobrajan, jalan kaki kira-kira 100 meter sampailah ke pasar ini, tepatnya di Jl. HOS Cokroaminoto, dekat SMUN-1 Teladan. Sebenarnya ada cara yang lebih praktis, di terminal Jombor ganti bis mini Tempel-Yogya, bisa langsung turun di depan pasar, tapi nggak nyaman karena tanpa AC.
Saya perlukan mengunjungi pasar ini karena ada pesanan dari adik saya yang tinggal di Nganjuk (Jawa timur) untuk mencarikan onderdil mesin jahit Singer kuno peninggalan almarhum bapak saya karena sudah tidak bisa dibeli lagi di toko atau dealer. Maklum usia mesin jahitnya sudah lebih dari 80 tahun, tidak untuk dioperasikan tetapi sekedar merawat barang peninggalan orang tua.

Memang agak susah mencari terjemahan kata dalam bahasa Jawa ‘klithikan’ ke bahasa Indonesia, mungkin kalau ke bahasa Inggris bisa diterjemahkan menjadi small articles. Sebagian orang mengisahkan bahwa kata “klithikan” berasal dari kata “klithik”, suara mata uang logam yang dilempar dan jatuh ke lantai dengan menimbulkan bunyi “klithik”. Karena itu, orang-orang yang termasuk pelit, bila ingin bersedekah kepada pengemis atau tukang ngamen di bis selalu yang dicari “uang klithik”, maksudnya uang receh logam. Jangan ditiru !!!
Cara melafalkan yang benar adalah : Kli=kli, thik=seperti teman-teman kita di Bali melafalkan tik, dan an=an. Seperti judul saya diatas jangan salah tulis jadi klithihan, karena yang ini artinya mencari-cari makanan karena lapar.

Bangunan pasar ini masih tergolong baru, diresmikan Menteri Koperasi dan UKM, Drs. Suryadharma Ali tanggal 13 Desember 2007, untuk menampung para pedagang kaki lima yang dulu berjualan di jalan Mangkubumi, Pasar Kranggan, Alun-alun Kidul, perempatan Ngasem, dan beberapa sudut lokasi di pinggiran jalanan kota Yogya lainnya. Bangunan berlantai tiga termasuk satu lowerground, yang dibagi menjadi empat blok besar, dimana setiap los dibagi menjadi kira-kira 8 petak berukuran sekitar 2x2 meter persegi tanpa penyekat. Di lowerground inilah yang sebenarnya paling tepat disebut pasar klithikan, karena dua lantai diatas diisi counter HP dan kantor.
Pasar ini kelihatan tertata rapi dan bersih, dengan slogan : “Pasare Resik, Rejekine Apik” dalam usaha mengajak pedagang selalu menjaga kebersihan dan kerapian pasar.

Ada ribuan item barang yang dijual di lowerground, ada kamera, proyektor film 8 mm, hardisk, sendok, gelas, korek api kuno, lampu gantung kuno, keris, batu permata, buku, sepatu, onderdil motor, kabel-kabel, onderdil sepeda, mesin jahit, alat-alat pertukangan, susah juga untuk menyebutnya satu-persatu. Bahkan ada lukisan yang gayanya seperti lukisan maestro pelukis Indonesia, Affandi. Intinya apapun kebutuhan Anda, coba cari di pasar ini, banyak harapan tersedia.

Hampir semua barang dagangan yang digelar adalah barang bekas, barang yang sulit dicari dan sebagian diantaranya termasuk kuno, inilah yang menjadi daya tarik pasar ini dan selalu ramai oleh pengunjung. Bagi kita yang tidak sedang memerlukan mungkin termasuk barang biasa, tetapi bagi yang memerlukan barang itu merupakan barang penting yang sangat mungkin tidak bisa ditemukan di tempat lain.
Pengunjung yang sedang menimang barang dan sebagian lain tawar menawar dengan gigih adalah pemandangan yang asyik untuk disaksikan. Kegiatan tawar menawar biasanya bisa berlangsung lama karena tidak ada standard harga yang baku, semuanya bergantung kepada kepentingan. Kalau calon pembeli sudah ngebet ingin memiliki, dan kemungkinan juga kecil dijumpai di pedagang lain, biasanya calon pembeli barang harus bolak-balik melemparkan jurus negosiasi, kalau perlu dengan wajah agak memelas untuk meluluhkan hati pedagang agar mau melepas barang dengan harga yang dia inginkan.

Saya sempat ngobrol dengan Pak Parjono, seorang abdi dalem kraton Ngayogyakarta yang berdagang khusus onderdil sepeda. Entah mana yang samben dan mana profesi pokok, yang jelas dia masih aktif apel di keraton dua kali seminggu dan selalu menjadi anggota pasukan pengawal Gunungan pada saat grebeg. Dari dasaran dagangannya saya menemukan plat merek asli dari sepeda-sepeda yang pernah saya kenal di masa kecil, antara lain Fongres, Philips, Batavus, Raleigh, Humber, Teha, Pahrrader, Hermes, Lokomotief, Westing, Gazelle, dan ketika saya teliti ternyata masih logam aslinya, ada yang kuningan dan pelat verchroom. Dia berburu barang-barang langka ini sampai ke desa-desa, bukan menunggu orang yang datang menjual. Pembeli barang langka ini adalah para kolektor sepeda onthel kuno untuk melengkapi asesoris sepeda koleksinya.

Jangan dikira bahwa penjual barang hanya pedagang yang membuka kios di pasar ini, karena pengunjungpun bisa jadi penjual. Mereka itu adalah pengunjung yang ingin menjual barangnya dengan berbagai kepentingan, dari mulai butuh uang, barangnya sudah nggak mode, dan berbagai macam alasan lainnya, termasuk diantaranya mungkin (mungkin lho!!!) dapat barang dari hasil kejahatan. Memang pasar ini merupakan tempat yang tepat dan mudah untuk melempar barang yang mungkin dirumah sudah tidak diperlukan, atau mungkin sedang butuh uang. Bisa terjadi proses jual beli terjadi antar pengunjung sendiri kalau pas “jodho”. Jurus jitu dari pedagang untuk menghadapi penjual yang awam dan tidak tahu harga pasar, biasanya dengan kalimat : “Wah nek niki nggih angel kulo ngedole “. (Artinya : “Wah kalau ini sih sulit menjualnya”) untuk memberi pukulan awal pada penjualnya. Kemudian diikuti dengan tawaran dengan harga sekenanya, bahkan hanya seperlimanya. Saya sempat nguping dialog ini di salah satu pedagang elektronik, saat seorang pengunjung menawarkan satu roll kabel antena tv bekas dari merk terkenal.
Pengunjung pasar tidak terbatas hanya kalangan menengah kebawah, tetapi dari berbagai kalangan sesuai kepentingannya. Bagi yang berburu barang kuno atau antik tentu kalangan berduit yang datangnya mungkin naik mobil mewah, sedang yang sekedar cari barang yang sulit dengan dana yang cekak, datangnya dengan sepeda motor atau trans yogya, atau moda angkutan umum lainnya. Gaya berpakaian pengunjung beraneka ragam dan tidak bisa dijadikan patokan dari kalangan mana. Ada yang tampil cukup dengan kaos oblong dan celana selutut lusuh ternyata yang dicari barang antik untuk koleksi.

Kalau Anda ingin berkunjung ke pasar ini, saya sarankan untuk tidak terlalu pagi, belum pada buka karena jam buka pasar ini sampai sampai malam. Walau resminya jam bukanya jam 07.00 pagi sampai jam 22.00 biasanya para pedagang baru mulai datang sekitar jam 09.00. Puncak keramaian pasar justru terjadi malam hari setelah sholat isya..

Hari sudah siang, badan saya sudah pegel karena harus berkali-kali jongkok untuk melihat-lihat barang yang saya cari, tapi tidak bisa menemukan, adik saya tidak bisa menyebut type mesin jahitnya, dan onderdil yang rusak untuk contoh tidak dikirim. Perjalanan saya kali ini hanya berhasil mengumpulkan bahan tulisan tentang salah satu keunikan di sudut kota Yogya.
Sampai ketemu di pasar “Klithikan”. Pesan saya sekali lagi, jangan salah sebut atau tulis dengan “klithihan” karena kata yang terakhir ini artinya cari-cari makanan karena kelaparan.

Rabu, 24 Maret 2010

Minum jamu bareng Elvis Presley


Mendengar kata minum jamu (baca : jamu Jawa), yang tertanam dibenak kita rasa pahit, getir, pedes dan segudang ketidak-nyamanan lainnya, dan banyak diantara kita terutama saat masih kecil takut untuk minum jamu.
Saya masih ingat jaman anak saya dulu masih balita, mbah putri saya yang selalu menjadi pengatur minum jamu di keluarga buat anak-anak, cucu dan buyut-buyutnya, melakukan adegan “pemerkosaan”, anak saya di “bondo” atau di “bedhong” (diikat kedua tangannya ke badan) dan di “cekok”. Ngeri memang adegannya. “Dicekok” artinya, jamu hasil godhogan atau gilingan dibungkus di selembar kain, katakanlah sapu tangan atau serbet makan, lalu diperas-peras dan dijejalkan ke mulut anak saya supaya air perasan jamu terminum. Tentu saja anak saya jerit-jerit nangis karena pahit dan ngeri “diperkosa”, tapi anehnya mbah putri tenang-tenang saja karena itu termasuk tradisi ritual keluarga untuk jaga kesehatan sejak balita, semua mendapat perlakuan yang sama, tanpa kecuali.
Kalau anak sulung saya baca artikel ini tentu masih ingat kepada mbah buyutnya yang bernama mbah Amat putri. Dua anak saya yang lain “selamat” dari ritual ini karena mbah buyut sudah meninggal saat mereka lahir.

Yang ingin saya bahas kali ini bukan tentang anak saya yang “diperkosa” minum jamu oleh mbah buyutnya, tapi soal minum jamu di jaman tahun 60-an yang sangat jauh dari kesan “penyiksaan”.
Di Yogya waktu itu ada dua warung jamu, Jamu Ginggang dan Jamu Ngabean Dikatakan warung jamu mungkin juga kurang pas, karena sama sekali berbeda dengan warung Jamu Jago atau Nyonya Meneer yang menjual jamu untuk tujuan pengobatan. Kedua warung itu lebih tepat di sebut restoran dengan menu khusus minuman semuanya dari jamu, dan jangan harap kita bisa menjumpai es buah, es campur, soda gembira dan semacamnya, yang ada Beras Kencur, Temu Lawak, Temu Ireng, Cabe Puyang dan lain-lain. Ada juga minuman diluar jamu, yaitu hanya bandrek bajigur dan wedang ronde sementara tidak ada menu makanan kecuali snack.
Namun, bila ada pengunjung yang butuh jamu sebagai obat juga tersedia, baik berbentuk bubuk, ramuan untuk direbus sendiri di rumah, atau seduhan, tapi golongan ini jarang.

Jamu Ginggang, lokasinya di dekat Puro Pakualaman, atau lebih tepatnya ada jalan disebelah utara bioskop Permata, masuk kearah timur. Warungnya biasa-biasa saja, menunya seperti sudah saya sebut, pengunjungya lebih banyak dari kalangan olahragawan karena disini tersedia jamu-jamu kesehatan selain jamu sebagai minuman segar. Tidak banyak yang dapat saya tulis di Jamu Ginggang ini, suasananya memang mirip-mirip warung jamu untuk pengobatan.


Jamu Ngabean, lokasinya di jalan Ngabean (sekarang Jalan KHA Dahlan), tepatnya 100 meter kearah timur dari PKU Muhammadiyah sekarang. Saat pertama saya berkunjung kesini saya terheran-heran mengapa pelayan menyodorkan dua buah menu, satu menu minuman jamu, satu lagi daftar judul PH (piringan hitam) lengkap dengan daftar lagunya milik penyanyi-penyanyi top saat itu, Elvis Presley, Pat Boone, Connie Francis, Paul Anka, Neil Sedaka, Ricky Nelson, Everly Brothers, dan yang top-top lainnya. Sambil masih penasaran saya nanya, yang ini buat apa, jawabnya disamping pesan minuman pengunjung bisa juga pesan lagu, kalau lagi sepi pengunjung kita boleh memesan satu album sekaligus, bila lagi rame dibatasi satu atau dua lagu, karena harus sharing dengan pengunjung lain. Hebat juga, jadi tepat sekali judul tulisan saya ini, “minum jamu bareng Elvis Presley” artinya selagi nikmat minum jamu sambil dihibur dengan lagu-lagu Elvis Presley favorit saya saat itu. Persepsi saya selalu kalau minum jamu yang lebih tepat diiringi gending-gending Jawa atau lagu-lagu Keroncong (saat itu belum ada Dangdut atau Campursari), nggak tahunya disini ada diskotik lengkap lagu-lagu barat yang lagi ngetop saat itu pengiring minum jamu.
Lumayan juga, promosi yang sangat berhasil, kebanyakan pengunjungnya anak-anak muda (termasuk saya waktu itu) yang memang penggemar lagu-lagu barat. Habis, kesempatan mendengarkan lagu-lagu barat (Indonesia juga) hanya bisa diperoleh lewat radio ABC, BBC, VOA, Hilversum, kadang-kadang RRI. Saat itu belum ada cassette recorder, yang ada baru tape recorder yang barangnya segede koper dengan pita yang masih dalam roll besar, atau turn table pemutar piringan hitam. Siapa mampu beli, apalagi saya, pelajar kost-kost-an yang hidup pas-pasan dari kiriman wesel orang tua.
Lumayanlah, kalau sedang kangen mendengarkan lagu-lagu top, datang saja ke Jamu Ngabean, cukup dengan segelas beras kencur, kalau lagi sepi bisa mendengarkan suara Elvis Presley cs lengkap satu album. Mau nambah pesanan lagu sungkan juga, maklum pesanan minumnya hanya segelas beras kencur.
Inovasi yang tergolong maju untuk ukuran saat itu, mungkin bisa disebut café kalau diterapkan saat ini.
Saat ini restoran ini sudah tidak beroperasi, entah mulai tahun berapa, yang jelas seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, promosi dengan cara seperti itu sudah ketinggalan.

Senin, 22 Maret 2010

Belanja di Malioboro dan Beringharjo


•Belanja di Malioboro




Malioboro, atau lebih tepatnya trotoir sisi barat sepanjang jalan Malioboro adalah surga belanja souvenir dan asesoris buat oleh-oleh para wisatawan domestik maupun wisman. Digelar sepanjang ujung utara Malioboro mulai dari teteg sepur hingga seberang pasar Beringharjo. Sebenarnya tempatnya cukup nyaman karena terlindung dari terik panas matahari pada jam berapapun, tetapi yang bikin gerah adalah berjejal-jejalnya para pk5 dan pengunjungnya, apalagi pada Minggu, hari-hari libur nasional, atau musim liburan.
Perlu Anda cermati sebelum berbelanja, bahwa hampir tidak ada barang yang spesifik di satu pk5, artinya barang serupa bisa Anda jumpai di pk5 yang lain mungkin dengan bentuk dan kualitas yang persis sama atau mungkin lebih baik.

Untuk memulai berburu belanja baiknya Anda berangkat dari ujung utara, atau tepatnya seberang hotel Garuda. Di daerah ini umumnya agak longgar dan tidak berdesak-desakan, apalagi bila hari masih pagi (tetapi ya jangan terlalu pagi, kurang dari jam 09.00, belum semua buka). Cari barang apa yang Anda butuhkan sesuai rencana, atau boleh juga tanpa rencana, tinggal tergantung berapa modal yang Anda miliki untuk berburu. Lihat-lihat dan pilih tetapi jangan terburu-buru menjatuhkan pilihan dan menanyakan harganya, bisa-bisa Anda kecewa karena barang serupa yang lebih bagus bisa Anda jumpai di tempat lain.
Teruskan perburuan Anda menuju arah selatan, sampai seberang Malioboro Mall biasanya sudah semakin sesak. Anda sudah boleh mulai menjatuhkan pilihan dan menanyakan harganya. Pedagang akan membuka harga, dan giliran Anda menawar. Anda tidak usah ragu untuk menawar pada sepertiga harga penawaran.
Jangan khawatir dan sungkan, karena kekhawatiran pedagangnya marah atau kesungkanan Anda itu yang dimanfaatkan oleh pedagang. Kalau masih belum sepakat paling-paling dia hanya akan mengatakan : “Wah belum dapat, pokoknya aja belum kembali”. Jangan kesusu, naikkan tawaran sedikit demi sedikit, nanti pada kisaran 50% dari harga penawaran biasanya sudah terlihat tanda-tanda mulai terjadi kesepakatan.



Pada posisi ini biasanya pedagang akan mengatakan : “ Sudahlah Mas,mBak,Bu, Pak, tambah aja sedikit nanti saya kasih”. Itu adalah tanda-tanda kesepakatan harga sudah hampir tercapai, namun pedagang masih berusaha menambah keuntungan. Sabarlah dan tetap bertahan, dan mulailah beranjak meninggalkan pedagang ini. Hampir pasti setelah kira-kira 10 meter Anda berjalan, Anda akan dipanggil kembali. Itupun kadang-kadang pedagang masih minta tambahan sedikit lagi. Keputusan akhir ada di tangan Anda, boleh manambah sesuai permintaan pedagang atau berakting lagi meninggalkan tempat. Seandainya tetap saja pedagang tidak tidak mau menyerah, tetap saja Anda teruskan perjalanan karena di tempat lain Anda masih bisa menjumpai barang serupa, bahkan mungkin lebih bagus, yang penting Anda sudah punya gambaran berapa sebenarnya harga yang layak untuk barang yang Anda minati tadi.

Bagi Anda yang sengaja kulakan, silakan telusuri jalan-jalan cabang Malioboro yang kearah timur, disana banyak toko yang khusus melayani pembeli kulakan, meskipun pembeli eceran juga tetap dilayani.

Pengalaman lain, sesekali waktu mungkin dengan sekali tawar pedagang setuju. Jangan salah sangka dan mengira bahwa Anda pandai menawar. Justru sebaliknya, itu menunjukkan bahwa tawaran Anda terlalu tinggi.
Inti dari tulisan saya ini adalah bahwa Anda perlu bersabar dan menyediakan waktu yang cukup untuk berbelanja di pk5 Malioboro, apakah itu buat oleh-oleh, untuk sendiri, bahkan mungkin kulakan, sediakan waktu paling tidak setengah hari untuk berburu di Malioboro yang nanti diakhiri di pasar Beringharjo, sesuai saran saya kepada Anda untuk memulai perjalanan dari ujung utara dan kemudian diakhiri di ujung selatan di Pasar Beringharjo.


Belanja di Pasar Beringharjo




Konon pasar ini sudah ada sejak tahun 1758, jadi sudah cukup tua, dan sudah beberapa kali mengalami renovasi bahkan pernah terjadi kebakaran, sebelum menjadi bentuknya yang sekarang. Ada banyak jenis barang dagangan di pasar ini, ada khusus los untuk berburu bahan jamu Jawa (baca : tradisional), los barang pernik-pernik kelengkapan upacara manten, dan yang paling terkenal adalah los penjual bahan TPT (tekstil dan produk tekstil) khususnya batik

Untuk belanja batik, memang pasar Beringharjo surganya, pilihan lebih lengkap dan harganya miring kalau kita pandai menawar, tetapi Anda harus sudah maklum bahwa di pasar ini batik yang dijual bukan dari kelas selebritis macam batik Keris, Danarhadi atau sekelasnya. Yang dijual di Beringharjo adalah batik untuk pakaian harian, santai, bahkan mungkin sekali dua kali pakai saja, bukan untuk menghadiri resepsi di hotel berbintang atau wawancara di televisi. Ada informasi yang masih perlu diuji kebenarannya mengatakan bahwa harga batik di pasar ini mulai dari puluhan ribu sampai jutaan rupiah. Rasanya saya belum pernah menemui batik yang harganya sekitar satu jutaan di pasar ini, karena umumnya yang dijual adalah jenis batik untuk pakaian harian, utamanya buat oleh-oleh, mulai dari rok, daster, baju untuk pria/wanita, sarung bantal kursi, sprei dan semacamnya.. Kalau jumlah sekali transaksi mencapai jutaan, itu sangat mungkin karena buat oleh-oleh atau memang sengaja kulakan.
Bagi yang memerlukan pakaian batik untuk resepsi hampir pasti mereka lebih memilih di toko-toko di Malioboro seperti Batik keris, Danarhadi atau di Malioboro Mall, dan sekelasnya
Soal motif tidak usah khawatir, Anda bisa mendapatkan batik dengan motif yang sama dengan batik yang dikenakan tokoh-tokoh penting yang sering wawancara di televisi, yang berbeda mungkin hanya bahannya atau cara membatiknya, yang itu tulis, yang di Beringharjo batik cap, dan mungkin juga keawetan warnanya tidak sama.

Bagaimana teknik menawarnya, inilah tips saya. Di Beringharjo dikenal istilah “setangkep”, maksudnya begini, kalau pedagang membuka harga, tawar dengan mengatakan apakah harga itu “setangkep ?”, artinya Anda menawar dengan harga 50%, karena kata setangkep artinya 2 buah/sepasang. Seperti halnya di Malioboro, Anda harus setahap demi setahap menaikkan tawaran. Kalau memang Anda sudah love at the first sight, jangan sekali-kali Anda perlihatkan. Lakukan akting seolah-olah Anda biasa-biasa saja dan beranjak meninggalkan pedagang ini supaya ganti dia yang menurunkan harga penawarannya. Sekali lagi jangan kesusu, kalau pedagang sudah mulai minta tambah sekian-sekian artinya sudah hampir terjadi kesekapatan harga.
Ada yang lebih khas lagi selama Anda berbelanja batik di pasar ini. Gang-gangnya sangat sempit, jadi kalau sudah agak siangan bermacam aroma campur baur di gang-gang kios penjual batik, ada bau parfum, bau keringat, obat-obatan pewarna batik campur aduk jadi satu, tapi suasana seperti ini tetap saja dinikmati oleh para pembelanja, habis tidak ada alternative lain, karena memang seni berbelanja di Beringharjo adalah sambil “suk-sukan”, senggol-senggolan (khususnya hari Minggu dan liburan) sembari tercium berbagai aroma.



Sementara kita sedang tawar menawar atau memilih barang terdorong sesama pembelanja lain yang jalan terburu-buru sambil bertelepon di HP dengan tidak memperhatikan lingkungan.
Kadang terasa nikmat juga dan “ngangeni”. Tidak percaya ? Silakan coba !

Inilah tips saya untuk belanja di pk5 Malioboro dan pasar Beringharjo, terutama
bagi mereka yang belum pernah, atau yang sudah pernah tetapi merasa harganya kemahalan. Ingat bahwa para pk5 tidak bermaksud melakukan penipuan tetapi semata-mata memanfaatkan kesungkanan Anda dalam menawar untuk memperoleh untung yang lebih banyak. Wajar kan?

Satu lagi tips saya, setelah Anda belanja batik untuk keperluan sendiri atau oleh-oleh, silakan kunjungi bagian ujung belakang (timur) pasar Beringharjo di los-los yang jual bahan jamu Jawa, beli buah “lerak”, atau lerak dalam bentuk cair yang sudah siap pakai. Lerak digunakan untuk mencuci batik, konon warna batik akan lebih awet dan tidak cepat “mbladhus” (terjemahan yang mendekati mungkin “kusam”) dibanding bila Anda mencucinya dengan deterjen. Termasuk berikan lerak ini kepada tetangga yang Anda beri oleh-oleh karena belum tentu lerak bisa didapat di semua kota.

Sampai ketemu di Malioboro dan pasar Beringharjo.
Catatan : foto-foto hasil penelusuran di Google.

Jumat, 19 Maret 2010

Pengantar

Yogya memang unik dan menarik, kota dengan segudang julukan atau sebutan, Kota Gudeg, Kota Pelajar, Kota Sepeda, Kota Budaya, Kota Wisata dan entah apa lagi sebutan yang lain. Penulisan nama kotanyapun ada banyak cara, Djokia, Djogdja, Djogja, Jogja, Jogya, Yogya. Apapun cara menulisnya semua orang pasti tahu bahwa yang dimaksud adalah Yogyakarta, nama resmi yang digunakan oleh Pemda Kota maupun Propinsi DIY, kota dengan Malioboro sebagai icon-nya.

Saya terinspirasi untuk membuat blog ini saat pertemuan Koembang Taroe, (Kumpul Bareng Tahun Baru) di aula SMK 2 (atau yang dulu dikenal dengan STM Jetis), malam tahun baruan menjelang 2010, yang diselenggarakan oleh teman-teman Altis (Alumni STM Jetis).

Di acara itu, seorang mantan Menteri di Kabinet Indonesia Bersatu jilid I berkisah tentang perjalanan hidupnya dari seorang lulusan STM Jetis bisa berkarier hingga jadi Menteri. Dari secuil kisah saya catat, saat beliau menuntut ilmu di STM Jetis sudah punya kiat ngirit, dengan cara mencari tempat kost yang ada anak gadisnya. Betul juga, beliau bisa mendapatkannya di sekitar sekolah dan berhasil memacari cucu pemilik rumah kost, yang akhirnya menjadi isterinya sampai sekarang. Lihai juga pak Menteri kita ini, biaya kost-nya ngirit, kadang-kadang nunggak juga nggak apa, dapat pacar cantik dan akhirnya jadi isteri.

Ada lagi kisah seorang alumnus, pada pelajaran Goniometri, menjelang akhir pelajaran pak guru selalu memberi soal kepadanya untuk dikerjakan di papan tulis, dan sama sekali tidak pernah menunjuk murid yang lain. Dia begitu penasaran, baru belakangan setelah lulus, terkuak rahasia ini, ternyata dia dijadikan semacam barometer oleh pak guru, bahwa kalau dia bisa menjawab soalnya dan benar, berarti seluruh murid di kelas itu mengerti pelajaran yang telah diberikan. Ternyata dia memang murid terbodoh di kelasnya.Walau begitu, berkat keuletannya murid ini sekarang sukses mengelola usaha perbengkelan kelas menengah yang menjadi langanan BPPT, dan sempat direkomendasikan oleh pak Menteri untuk diteladani pada siswa SMK.

Menyimak kisah-kisah itu, meski kejadian semacam itu bisa saja terjadi di mana-mana, tidak hanya di Yogya, saya terinspirasi untuk membuat blog yang khusus menampilkan hal-hal unik yang pernah terjadi jaman doeloe, maupun kejadian-kejadian jaman sekarang. Saya memaknai kisah-kisah semacam itu sebagai kenang-kenangan bagi yang pernah mengalami, dan menjadi panduan buat mereka yang mungkin akan tinggal atau berkunjung ke Yogya.

Saya tunggu komentar-komentar, serta bantuan Anda untuk memberikan bahan tulisan kepada saya. Anda sebagai seseorang yang pernah bermukim di Yogya entah untuk menuntut ilmu atau memang asli wong Yogya, mungkin punya pengalaman atau pengetahuan yang unik yang bermanfaat untuk diketahui orang lain, asalkan jangan yang berbau SARA, politik atau porno.

Silakan kirimkan bahan tulisan ke e-mail saya : ib.syamsi@yahoo.co.id, untuk saya edit terlebih dahulu dan saya posting di blog ini.

Tulisan saya berikutnya yang sedang saya siapkan adalah tentang : kiat belanja di malioboro dan beringharjo, nonton bioskop jaman doeloe, dan tentang rubrik sungguh-sungguh terjadi di Koran KR.