Senin, 12 April 2010

Nonton bioskop djaman doeloe

Saat itu di Yogya bisa dijumpai beberapa gedung bioskop. Rahayu di jalan Solo, Rex/Ratih di P. Mangkubumi, Indra di Malioboro, Senisono dekat Gedung Agung, Soboharsono di alun-alun utara, Luxor/Permata di Pakualaman dan Pathuk di ujung jalan Pathuk. Bioskop-bioskop ini terbagi dalam tiga katagori, yang termasuk kelas atas interior dan tempat duduknya lebih bagus, dengan nomer kursi, proyektornya dua buah sehingga tidak ada istirahat saat operator mengganti rol film. Layarnyapun sudah disesuaikan dengan perkembangan ukuran skala gambar yang dikenal dengan istilah cinemascope atau lebih dikenal dengan layar lebar dan lengkung, sound systemnya juga lumayan bagus untuk ukuran masa itu, meskipun belum dilengkapi dengan Dolby stereo. Tempat duduk dibagi lagi menjadi kelas-kelas, ada yang namanya Loge atau Balkon, kelas I, II, III. Kelas Loge atau Balkon biasanya lantainya sejajar dengan proyektor, penontonnya lebih sophisticated, tidak suka ribut meskipun mereka yang duduk di kelas depan (III) sekalipun.
Yang termasuk kelas kambing minta ampun, di barisan kursi depan biasanya tercium bau pesing karena ulah penonton yang suka buang air kecil di bawah layar, dan penontonnya ribut bukan main kalau film putus atau ada adegan yang “serem” (misalnya kissing atau jagoannya menang berkelahi). Tidak cukup dengan tepuk tangan, tetapi disertai dengan teriakan-teriakan dan menepuk-nepuk kursi dengan sandal.

Termasuk katagori kelas atas Rahayu dan Ratih, menengah Indra, Soboharsono, Senisono dan Permata, kelas kambing bioskop Pathuk. Jam pertunjukan berbeda dengan kota lain, bahkan dibanding Jakarta atau Surabaya sekalipun. Umumnya jam pertunjukan pukul 17.00, 19.00 dan 21.00 tetapi di Yogya berbeda, ada pertunjukan pukul 10.00 pagi setiap hari atau yang disebut pertunjukan matinee. Di kota lain umumnya matinee hanya ada pada hari Minggu atau hari libur. Alasannya, Yogya adalah Kota Pelajar, dimana jam belajar mengajar sekolah-sekolah mulai pagi hingga malam hari. Inilah yang mendasari kebijaksanaan Pemda mengijinkan pertunjukan matinee setiap hari, dengan maksud pelajar dan mahasiswa masuk sore atau malam punya kesempatan nonton pagi, walaupun pada prakteknya banyak juga pelajar nakal yang suka bolos untuk nonton matinee. Harus dimaklumi bahwa pada saat itu fasilitas hiburan utama bagi masyarakat yang ada hanya bioskop, belum ada televisi atau media hiburan elektronik lainnya seperti sekarang ini.


Film-film yang diputar umumnya ex Hollywood, produksi MGM (Metro Goldwyn Meyer), Columbia Pictures, atau Twentieth Century Fox, yang kebanyakan dari genre western (baca cowboy) seperti The Good The Bad and The Ugly, Gun Fight at OK Coral, The Last Sunset, Shane, Last Train from Gunhill, dan drama musical seperti Rock Around the Clock, Jailhouse Rock, King Creole, Love Me Tender, April Love, Blue Suede Shoes, Roman Holiday. Bintang-bintang yang sering tayang dilayar bioskop-bioskop kelas atas antara lain Burt Lancaster, John Wayne, Ronald Reagan, Gary Cooper, Allan Ladd, Anthony Quin, Kirk Douglas, Gregory Peck, Elizabeth Taylor, Susan Hayward, Rita Hayworth, Audrey Hepburn, Charlston Heston, Lee Van Cleef, dan tidak lupa si “buruk muka” Jack Palance dan Ernst Borgnine yang selalu berperan sebagai tokoh antagonis.
Penyanyi yang juga main film adalah Elvis Presley, Pat Boone, Connie Francis, Doris Day.


Film-film first run dari kedua jenis tersebut biasanya diputar simultan di Rahayu dan Ratih, atau di Indra. Bioskop-bioskop yang lain umumnya memutar film-film second run atau film Indonesia, yang saat itu biasa disebut film Jawa, dengan bintangnya yang terkenal Titien Soemarni, AN Alcaff, serta film Asia lainnya.

Diantara film-film musikal yang pernah diputar, maka film Rock Around The Clock merupakan film favorit saya dan sempat menontonnya hingga 3 kali, 2 kali saat first run dan sekali pada second run. Film musikal ini menampilkan group band rock Bill Haley and His Comets, dan sebuah group pop bernama The Platters. Hingga saat ini lagu-lagu hits ini masih melegenda dan masih sering saya putar di cd player saya, lagu itu adalah Only You, Smoke Gets in Your Eyes dan The Great Pretender. Film inilah merupakan awal kebangkitan musik rock and roll sebelum munculnya Elvis Presley.

Untuk menonton di Rahayu, Ratih atau Indra perlu perjuangan tersendiri, mengapa demikian ? Seperti disebut dimuka, fasilitas hiburan bagi masyarakat yang utama adalah bioskop. Untuk menonton film-film baru pada pemutaran perdana hingga hari ketiga, kita harus datang lebih awal sebelum loket dibuka untuk mendapat posisi antrian dekat loket, kalau tidak, kita bisa batal nonton karena kehabisan karcis atau harus berhadapan dengan calo yang harganya bisa dua kali lipat, tergantung filmnya, atau, kita harus tetap ngantri dua jam lagi untuk jam pertunjukan berikutnya dengan mempertahankan posisi kita di antrian. Di bioskop Indra saat diputar film musical Rock Around the clock, antrian karcisnya berujung hingga ke Malioboro. Demikian juga di Ratih dan Rahayu saat diputar film musical dengan bintangnya Elvis Presley antrian berujung di jalan P. Mangkubumi dan jalan Solo. Menonton selain hari-hari itu memang lebih longgar, tetapi itu berarti kita sudah ketinggalan informasi, dan kita hanya akan jadi pendengar kala teman-teman kita di sekolah, dikantor atau tetangga sebelah, berdiskusi tentang film yang sedang diputar, sementara waktu nonton sudah tidak surprise lagi karena jalan ceritanya sudah kita dengar dari tetangga atau teman.


Bicara tentang calo karcis, bioskop Indra punya petugas keamanan (katakanlah sekarang Satpam) namanya Pak Min. Dia memang seorang pendekar (pendek dan kekar) dengan wajah bulat mirip Ernst Borgnine. Dia inilah yang paling berani dan tegas menertibkan para calo yang biasanya menerombol antrian sehingga terjadi kericuhan di depan loket. Kalau dia sudah marah, dia lolos ikat pinggangnya dan diputar-putar diatas kepalanya bak seorang pendekar, dan dengan tidak pandang bulu calo yang tidak mau tertib pasti kena sabetan ikat pinggangnya. Dia bak seorang dewa penyelamat bagi para calon penonton yang sudah sejak awal mau mengantri dengan tertib. Terima kasih pak Min, ketegasanmu selalu kukenang.

Sebenarnya bagi para calon penonton, calo karcis bukan sosok yang harus selalu dimusuhi, yang membuat para calon penonton jengkel dan kesal adalah ulahnya yang suka menyerobot antrian langsung ke depan loket.
Di sisi lain, jasa calo kadang-kadang juga sangat dibutuhkan. Bayangkan, malam Minggu, Anda seorang pria yang sedang pendekatan dengan seseorang calon pacar, lagi kencan dengan acara menonton bioskop. Tentu Anda sudah berpakaian rapi dan selalu ingin kelihatan rapi dihadapan calon pacar, apakah kira-kira Anda mau jadi lecek gara-gara berdesak-desakan ngantri karcis. Tentu Anda sangat butuh jasa calo untuk mendapatkan karcis dan berapapun harganya pasti Anda bayar agar tetap kelihatan generous di hadapan calon pacar. Betul kan ? Menurut saya betul,….. pengalaman !

Poster hasil penelusuran di Google.

Rabu, 07 April 2010

Bule kecil “kurang ajar”

Di Malioboro, ketika melintasi serombongan (satu keluarga) turis manca negara sedang berbincang di depan hotel Mutiara, cucu saya terheran-heran memperhatikan seorang bule kecil memanggil ayahnya dengan hanya menyebut namanya saja, John, Edward, Bill atau yang lain-lain. Betul-betul “kurang ajar” anak bule ini katanya, masak kepada ayahnya sendiri “njangkar”.
Dalam bahasa Indonesia, “njangkar” berarti memanggil dengan cara tidak sopan kepada orang yang lebih tua. Dia (cucu saya), tidak tahu bahwa si bule kecil ini memang tidak punya budaya atau tradisi memanggil ayahnya atau orang-orang yang lebih tua dengan pak, pakde, paklik, mas, bu, mbak, bulik (dalam bahasa mereka), seperti yang selama ini dia lakukan sesuai apa yang diajarkan orang tuanya.

“Desa mawa cara, negara mawa tata” (cara melafalkannya yang tepat, baca huruf “a” dalam kalimat ini dengan “o” seperti kita melafalkan kata “Sosro” , bukan seperti kata “Solo”, karena memang itulah aturan menulis dalam bahasa Jawa, rumit kan ?). Itulah sebuah ungkapan dalam bahasa Jawa yang artinya kira-kira semua daerah atau negara mempunyai adat, budaya, tradisi yang berlaku secara lokal di lingkungan masyarakatnya masing-masing. Ini tidak berkaitan dengan masalah politik atau konstitusi tetapi murni tata kehidupan masyarakat.

Sebagai orang Jawa, saya, anak saya, bahkan sampai cucu saya sekarang ini masih sangat kental mengenal dan menjalankan tradisi sebutan pak, bu, eyang, mbah, bulik, paklik, bude, pakde, mas, mbak kepada orang yang lebih tua umurnya, atau yang secara tradisi menjadi dituakan.

Khusus dengan tradisi yang dituakan itulah yang akan menjadi pokok bahasan tulisan saya ini, suatu hal yang mungkin belum semua orang tahu.

Disini saya sertakan dua buah foto.Saya punya cucu, bahkan cucu saya ini yang termuda dari seluruh delapan orang cucu saya, namanya Najwa (lihat fotonya yang lucu), dan satu lagi foto dua orang anak,namanya Epal dan Vira, cucu adik saya. Dalam usia yang baru tujuh bulan, ketika tulisan ini saya buat, Najwa cucu saya sudah menyandang sebutan mbak dari Epal dan Vira, dan tentu saja dari cucu adik-adik saya yang lain berapapun usianya, Memang secara tradisi mereka harus memanggil mbak Najwa kepada cucu saya ini.

Agak sulit untuk menjelaskan, bagaimana mungkin seorang yang sudah sekolah di SD atau bahkan SMU harus memanggil seorang balita yang umurnya jauh lebih muda darinya dengan panggilan mas atau mbak. Agak bertentangan dengan aturan bahwa seseorang memanggil mbak atau mas kepada yang lebih tua umurnya. Tetapi itulah tradisi kekerabatan yang masih dijunjung tinggi di keluarga Jawa.
Kebetulan saya terlahir sebagai anak “mbarep” (sulung) . Keberuntungan bagi anak-anak dan cucu-cucu saya yang selalu mendapat posisi “atas” di jaringan keturunan keluarga saya. Mereka selalu “menang” posisi terhadap anak dan cucu adik-adik saya dan mendapat keistimewaan selalu mendapat pangilan dengan “mas” atau “mbak”.
Sebaliknya, kasihan juga, seorang anak yang lahir sebagai “ragil” (bungsu), tidak akan pernah mendapat panggilan mas atau mbak dari anak-anak pakde kandungnya walaupun usianya jauh lebih tua sekalipun. Dan kewajiban ini berlaku seumur hidup sampai dewasa dan tua .Rumit kan ?

Tidak mudah untuk menjelaskan kepada mereka, tapi itulah tradisi turun temurun yang sudah melekat di keluarga Jawa. Protes memang kadang-kadang ada namun pada umumnya mereka akhirnya bisa juga menerima kenyataan ini. Mengapa mereka akhirnya menerima, karena di keluarga Jawa mereka yang tidak melaksanakan aturan ini akan mendapat cap “ora ngerti unggah ungguh” atau kalau diterjemahkan “tidak mengerti sopan santun”. Mungkin karena takut mendapat cap semacam ini, maka, mau tidak mau, senang tidak senang, mereka harus melaksanakannnya.
Bagaimanapun saya masih berbesar hati bahwa dilingkungan keluarga besar saya, tidak memandang apakah mereka tinggal di pedesaan atau di kota-kota besar seperti Jakarta sekalipun, masih setia menganut tradisi semacam ini. Ini berarti bahwa mereka masih menyadari ke-Jawa-annya, dan tidak pernah terkontaminasi oleh budaya “bule kecil kurang ajar’ seperti judul tulisan ini.

Senin, 05 April 2010

Kol Kampus

Bangsa kita punya kebiasaan unik, memberi nama suatu benda berdasar merk yang dikenal pertama kali. Ambil contoh : ppo itu bisa berarti minyak angin, orang bisa minta ppo (maksudnya minyak angin) cap Kampak atau Caplang, padahal PPO (Pak Pung Oil) adalah merk minyak angin yang pertama kali dan cukup terkenal. Ada lagi kodak, selalu diidentikkan dengan kamera, jadi kita bisa punya kodak (maksudnya kamera) merk Nikon, Fujica, Asahi Pentax, Cannon, sementara Kodak adalah merk kamera pertama yang terkenal. Masih banyak contoh yang lain, seperti honda selalu mewakili kendaraan bermotor roda dua buatan Jepang. Jadi ada orang Yogya ke Klaten naik honda merk Yamaha.


Demikian juga yang menjadi judul tulisan ini, kol. Aslinya jenis kendaraan ini adalah varian mobil komersial keluaran industri otomotif Mitsubishi yang memberi nama produknya Mitsubishi Colt, type T-120, satu kendaraan berbentuk pick up yang aslinya dengan bak terbuka karena memang dimaksudkan untuk angkutan barang. Pick up ini kemudian dikembangkan oleh masyarakat menjadi kendaraan angkutan penumpang dengan memberi kap terpal atau dekleed dilengkapi tempat duduk memanjang kebelakang di dua sisi samping bak belakang, atau yang sekalian diubah bentuk karoserinya menjadi station wagon. Jenis kendaraan penumpang dengan bentuk seperti inilah yang kemudian sangat dikenal oleh masyarakat dengan nama Kol (aslinya : Colt). Jadi apapun merk mobilnya, maka semua bentuk kendaraan penumpang seperti ini selalu disebut kol, merknya boleh Isuzu, Daihatsu, Kijang dan lain-lain. Yang lebih parah lagi, DLLAJR-pun ikut-ikutan latah, dibeberapa kawasan di berbagai kota ada rambu lalulintas berbunyi : “Kol dilarang masuk” , jadi kalau mengacu pada arti sebenarnya, harusnya mobil Kijang, Isuzu, Daihatsu boleh dong masuk Padahal maksud sesungguhnya yang dilarang adalah semua kendaraan penumpang sejenis station wagon atau pickup yang menjadi angkutan penumpang.

Di Yogya, kol mempunyai sejarah tersendiri karena pernah mempunyai nama harum di kalangan masyarakat, khususnya mahasiswa UGM. Saat itu di akhir 70-an atau awal 80an, moda angkutan umum bermotor dalam kota belum ada kecuali becak dan andong, sementara kendaraan pribadi roda dua atau empat masih relatif terbatas, khususnya di kalangan mahasiswa. Kendaraan di kalangan pelajar dan mahasiswa masih didominasi sepeda onthel.

Seiring dengan muncul dan demikian ngetrennya kendaraan komersial Mitsubishi colt, beberapa orang berinisiatif mengoperasikan kendaraan miliknya yang telah dimodifikasi menjadi pickup dengan bak belakang tertutup terpal dengan tempat duduk berbentuk bangku panjang. Bidikan pertama adalah ke jurusan kampus, yang tidak lain adalah kampus Universitas Gadjah Mada di Bulaksumur. Angkutan ini dalam waktu singkat menjadi andalan dan idola para mahasiswa UGM karena mereka menelusuri jalan-jalan di lingkungan kampus sampai ke fakultas-fakultas. Dan sinilah yang kemudian moda angkutan umum ini populer dijuluki kol kampus, dengan teriakan kernetnya .. kampus ……kampus…. kampus.
Moda angkutan umum ini akhirnya tidak hanya menjadi andalam mahasiswa UGM, tetapi juga menjadi andalan masyarakat umum yang lain karena mereka merasa terbantu untuk mencapai tujuan di jalur-jalur yang dilalui kol kampus ini.

Sayang tidak terekam dalam ingatan saya berapa tarif pertama yang dikenakan pada penumpang saat itu, tetapi yang jelas sejak saat itu jugalah masyarakat mulai mengenal tarif jauh-dekat sama saja. Karena masyarakat belum terbiasa, tidak jarang terjadi adu urat leher antara penumpang dan kernet yang menarik ongkos, penumpang merasa tempat tujuan tidak terlalu jauh, tetapi harus bayar sama dengan yang naik dari ujung pangkal pemberangkatan sampai kampus UGM.
Yang masih saya ingat adalah route awal-awal adanya kol kamus, dari arah selatan Pingit-Jalan Magelang-Borobudur Plaza kanan-Cemorojajar-Jetis-masuk lewat Gedung BPA kanan-Bundaran-menelusuri kampus-keluar lewat bundaran lagi-Cik Di Tiro-Kridosono-Jembatan Kewek-Malioboro.
Bila saya dari Magelang ingin ke Malioboro, selalu dari bis umum turun Borobudur Plaza, kemudian ikut putar-putar kampus, langsung Malioboro. Tarifnya saya lupa, yang jelas lebih murah dibanding naik becak dari Pingit.
Walaupun moda angkutan ini dari jenis angkutan komersiil berbayar mereka tetap menggunakan plat hitam.

Sudah bisa diduga, melihat prospeknya yang begitu cerah, maka jumlah angkutan ini dalam waktu singkat menjamur dan berkembang demikian pesat jumlahnya, bahkan trayeknyapun sudah bukan terbatas ke kampus UGM melainkan ke segala arah. Tetapi anehnya masyarakat sudah tidak peduli lagi dengan namanya, tetap saja mereka menyebutnya kol kampus meskipun trayeknya sama sekali tidak bersinggungan dengan kampus UGM. Karena itu jangan heran kalau ada kol kampus jurusan Kalasan (memangnya disana ada kampus apaan waktu itu?)

Pemerintah yang melihat moda angkutan ini semakin semrawut trayek-trayeknya, akhirnya mengadakan penertiban, pertama perubahan angkutan plat hitam diharuskan menjadi plat kuning yang diatur trayek-trayeknya, dengan kewajiban kir kendaraan dan aturan-aturan lain yang berkaitan, pajak-pajaknya, serta manajemen kepemilikan operatornya.
Mulailah dibentuk koperasi-koperasi angkutan dalam kota dengan merekrut para pemilik kol kampus ini sebagai anggota dan merubah bentuk kendaraan pickup menjadi bus mini, terlahir diantaranya Aspada, Kopata, Kobutri dan lain-lain seperti bentuknya sekarang ini.
Dengan demikian, diakui atau tidak, kol kampus inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya moda angkutan kota seperti yang kita kenal sekarang ini, dan terakhir adanya moda angkutan terbaru Trans Jogya.


Tanpa bermaksud promosi, sebenarnya Mitsubishi dengan Colt-nya telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perkembangan industri angkutan penumpang dan barang, serta industri manufaktur sebagai industri hilir.
Di bidang menufaktur, berkembang pesat adanya industri karoseri, contohnya Adiputra di Malang, dan New Armada di Magelang yang dalam perkembangannya menjadi demikian menggurita, mereka mengawali industri karoserinya dengan Mitsubishi Colt ini, baru kemudian disusul dengan produk industri otomotif lainnya seperti Daihatsu, Kijang, Isuzu dan lain-lain..

Langkah perkembangan seperti itulah yang akhirnya mengilhami hal serupa di kota-kota lain di Indonesia.

Kampus…..kampus……kampus…….

Selasa, 30 Maret 2010

Sungguh-sungguh terjadi



KR, ya itulah koran yang begitu akrab di telinga mereka yang tinggal di Yogya atau kota-kota sekitar Yogya, lengkapnya harian Kedaulatan Rakyat tetapi sehari-hari orang lebih akrab menyebutnya KR saja. Suatu saat koran ini pernah “terpaksa” harus berganti nama karena aturan pemerintah Orde Lama yang mengharuskan semua koran di Indonesia berganti nama dengan nama tunggal Dwikora. Kedaulatan Rakyat tidak kurang akal. Untuk tidak kehilangan identitas KR, disiasatinya dengan cara memberi tekanan pada font-nya pada huruf Dwi KR dalam menulis nama Dwikora. Siasat yang patut diacungi jempol juga. Sampai hari ini Koran KR sudah berusia 62 tahun, mungkin salah satu Koran tertua di Indonesia yang masih tetap setia mengunjungi pembacanya.

Akhir tahun 70-an KR punya icon cerita bersambung karya SH Mintardja yang berjudul Nagasasra Sabuk Inten dengan tokoh sentralnya Mahesa Djenar dan Widuri. Saking terkenalnya cerita silat versi Jawa ini, diberitakan satu waktu pak Budiardjo yang saat ini menjabat sebagai Menteri Penerangan, dalam kunjungan kerja ke Jogya menyempatkan diri mampir ke Kantor KR sekedar membaca naskah cerita bersambung ini yang akan terbit beberapa hari ke depan. Buka main pak Menteri ini begitu ngefansnya.
Cerita bersambung berikutnya adalah Api di bukit Menoreh yang merupakan serial bersambung terpanjang dalam sejarah koran di Indonesia.

Tetapi bukan itu pokok bahasan saya, melainkan salah satu rubrik dalam koran KR, letaknya dari dulu di kolom paling kanan paling bawah di halaman depan, yaitu Sungguh-sungguh terjadi. Sejak saya mengenal dan membaca KR tahun 60-an sampai dengan hari ini, rubrik ini tidak pernah absen. Isinya adalah kisah pendek yang kadang lucu, kadang aneh, atau satu saat anekdot yang dikirim pembacanya dan sama sekali tidak ada unsur sindiran atau kritikan. Motivasi pembaca mengirim naskah ternyata macam-macam, antara lain karena bangga namanya ditulis di koran., hitung-hitung namanya pernah masuk koran. Soal honor menjadi nomer dua. Oleh karenanya KR tidak pernah kehabisan naskah pengisi rubrik ini. Inilah beberapa cuplikan Sungguh-sungguh terjadi yang saya kutip dari KR.

• Ketika kuliah di Inggris, setiap kali berkunjung ke rumah teman, saya sering dipijiti oleh tuan rumah. Nikmaat sekali. Eh, jangan salah sangka. Maksudnya, saya sering diberi minum teh berlabel “PG Tea” (baca : “pijiti”) oleh tuan rumah. Konon “PG Tea” itu berasal dari Indonesia. (Kiriman Ganjar Andaka, Jurusan Teknik Kimia, IST AKPRIND, Yogyakarta)

• Awal Maret 2010 ada warga Karanglewas, Purwokerto Barat, mengendarai motor matic Mio baru, muter-muter kampung. Kebetulan bertemu rombongan warga yang sedang mengantar jenazah ke pemakaman umum. Entah bagaimana keranda jenazah ditabrak hingga jatuh dan jenazahnya terguling di jalan umum. Si penabrak trauma peristiwa itu, tiap malam ketakutan, akhirnya motornya yang baru dibeli 2 hari itu, dijual murahRp.4 juta.
(Kiriman : Achmad Pujiyanto, Jalan Waru IV No.30, Tanjung Elok, Purwokerto Selatan, Jateng)

• Dewasa ini makin banyak lembaga melayani publik 24 jam. Di daerah Windan, Makamhaji, Kartasura, penjual es batu tidak mau kalah. Juragannya pasang tulisan begini : “Es batu on-line 24 jam”. Apa tumon ? (Kiriman : Danang Karyanta W, d.a. Glagah 14/07, Karangwungu, Karangdowo, Klaten 57464, Jateng).
• Khawatir tak bisa membiayai anak, kini banyak orang Jepang yang memutuskan untuk tidak punya anak. Sebagai gantinya, mereka memelihara anjing atau kucing. Menurut statistik 2009, di Jepang ada 12,3 juta anjing dan 10 juta kucing. Hebatnya lagi, disana ada kelas khusus untuk hewan peliharaan dan pemiliknya agar bisa saling berkomunikasi dengan baik. (Kiriman : Ridwan Arif Nugroho MA, Sleman, Yogya).
• Pada Oktober 2009 saya mendapat tugas menghadiri IULTCS XXXI Congress di Beijing, China. Alangkah kagetnya saya, pada jamuan makan malam di suatu Traditional Dancing Theatre, terdengar musik instrumental Bengawan Solo. Sontak saya teriak :”That is Indonesian song!”. Spontan teman-teman around table saya dari USA dan Jepang menyalami saya. Selamat Pak Gesang, semoga selalu sehat! (Kiriman : Ir. Suliestiyah Wiryodiningrat MM (BBKP Yogya), Perum II Jalan Delima D-15, Sidoaruim, Godean, Sleman, DIY 55564).
• Saya kaget campur geli ketika menerima undangan khitanan dari tetangga saya Sudomo SPd, karena seingat saya dia tidak pernah kuliah S-1 Pendidikan. Ternyata SPd yang dimaksud bukan gelar Sarjana Pendidikan, tetapi berarti “Sepeda”. Memang dia adalah juragan sepeda! (Kiriman: Wiranto Agus Sutopo, Jalan Anggodo III T No. 5, Perum Ayodya 1, Purwodadi Grobogan, Jateng).
• Jum’at pagi 12-03-2010 di lampu merah perempatan Klodran, Bantul, ada cewek mengendarai matic dengan tulisan di slebor begini :”Hari gini oper gigi?Cape deh!”. Eeeee, lha kok di samping agak belakang ada seorang Bapak manula pakai bebek di slebor belakangnya ditulisi :”Motor gak ada gigi? Tua ompong dong!” (Kiriman : Ndari, Temas, Tegallurung, Pandak, Bantul, DIY, 0274-414604).
• Pasti ada sebagian pembaca belum tahu arti patung kuda yang mengangkat kaki, karena semua itu ada artinya. Jika 2 kaki depan diangkat, orang yang nunggangin kuda itu tewas dalam pertempuran. Jika 1 kaki diangkat, penunggangnya meninggal karena luka dalam pertempuran. Dan bila kaki tidak diangkat, penunggangnua meninggal seara normal. (Kiriman : J. Suharto, Gedongkiwo MJ I/788 Yogya 55142).
• Saat ini sedang musim bupati dan keluarga pejabat ikut meramaikan bursa pemilihan kepala daerah. Yang paling menarik adalah di Kediri. Kedua istri bupati berebut posisi yang akan ditinggalkan suaminya. Andai ada yang beistri 4 dan semua ikuit pemilukada, pasti tambah gayeng dan seru! (Kiriman : Sarwono, Kembaran RT 03 Tamantirto, Kasihan, Bantul, DIY 551830)
• Saudaraku punya murid namanya Yois Iki Malahane. Selain itu, ketika saya membayar pajak motor di Samsat beberapa waktu yang lalu, bareng sama orang namanya … Di Hari Kartini. Keduanya cewek. Luar biasa! Nama mereka unik dan tidak ada duanya. Dan mereka bangga pada nama mereka. (Kiriman : Sigit Dwi Andrianto, d.a. Karanganyar MG 3/1277, Yogya 55153).
• Pada 9-11 Maret 2010 lalu, rombongan kami berkunjung ke STAIN Purwokerto. Naik KA Logawa. Pas diatas gerbong, ada penjual teriak-teriak begini : “ Obat ganteng, obat ganteng! Cuma Rp.2000 saja!”. Karena penasaran, kami menoleh. Ternyata, yang disebut “obat ganteng” adalah sisir rambut!. (Kiriman : Bramma Aji, Fakultas Dakwah, UIN Sunan Kalijaga, Yogya).
• Mungkin karena tak mau kalah dengan pebisnis yang pakai nama “Indo”, pemilik warung di sebeleh timur kampus Mercu Buana Jl. Wates Km 19 Yogya, pasang nama begini :” INDOWARUNG. Ini Warung Harga Grosir”!.
• Kesebelasan sepakbola Indonesia memang tidak bisa ikut Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan. Namun kita patut berbangga, karena salah satu tim unggulan, yaitu Brazil, akan memakai kaos buatan Indonesia. Karena di kerah tim Brazil tulisannya “Made in Indonesia”, “Fabrique en Indonesia”. (Kiriman : Andri Nurdianto, Jl. DI Panjaitan 110, Yogya 55141).

Minggu, 28 Maret 2010

Jangan salah, klithikan, bukan klithihan

Dari Magelang saya nik bis Semarang-Yogya, turun di terminal Jombor, langsung masuk shelter bis Trans Yogya, memang inilah moda trtasportasi favorit saya setiap saat ke Yogya dengan tujuan manapun. Tujuan saya kali ini ke pasar Klithikan, naik jalur 2B, transit jalur 3 A di shelter hotel Garuda, transit lagi ke jalur 2B di shelter KHA Dahlan, turun di shelter Wirobrajan, jalan kaki kira-kira 100 meter sampailah ke pasar ini, tepatnya di Jl. HOS Cokroaminoto, dekat SMUN-1 Teladan. Sebenarnya ada cara yang lebih praktis, di terminal Jombor ganti bis mini Tempel-Yogya, bisa langsung turun di depan pasar, tapi nggak nyaman karena tanpa AC.
Saya perlukan mengunjungi pasar ini karena ada pesanan dari adik saya yang tinggal di Nganjuk (Jawa timur) untuk mencarikan onderdil mesin jahit Singer kuno peninggalan almarhum bapak saya karena sudah tidak bisa dibeli lagi di toko atau dealer. Maklum usia mesin jahitnya sudah lebih dari 80 tahun, tidak untuk dioperasikan tetapi sekedar merawat barang peninggalan orang tua.

Memang agak susah mencari terjemahan kata dalam bahasa Jawa ‘klithikan’ ke bahasa Indonesia, mungkin kalau ke bahasa Inggris bisa diterjemahkan menjadi small articles. Sebagian orang mengisahkan bahwa kata “klithikan” berasal dari kata “klithik”, suara mata uang logam yang dilempar dan jatuh ke lantai dengan menimbulkan bunyi “klithik”. Karena itu, orang-orang yang termasuk pelit, bila ingin bersedekah kepada pengemis atau tukang ngamen di bis selalu yang dicari “uang klithik”, maksudnya uang receh logam. Jangan ditiru !!!
Cara melafalkan yang benar adalah : Kli=kli, thik=seperti teman-teman kita di Bali melafalkan tik, dan an=an. Seperti judul saya diatas jangan salah tulis jadi klithihan, karena yang ini artinya mencari-cari makanan karena lapar.

Bangunan pasar ini masih tergolong baru, diresmikan Menteri Koperasi dan UKM, Drs. Suryadharma Ali tanggal 13 Desember 2007, untuk menampung para pedagang kaki lima yang dulu berjualan di jalan Mangkubumi, Pasar Kranggan, Alun-alun Kidul, perempatan Ngasem, dan beberapa sudut lokasi di pinggiran jalanan kota Yogya lainnya. Bangunan berlantai tiga termasuk satu lowerground, yang dibagi menjadi empat blok besar, dimana setiap los dibagi menjadi kira-kira 8 petak berukuran sekitar 2x2 meter persegi tanpa penyekat. Di lowerground inilah yang sebenarnya paling tepat disebut pasar klithikan, karena dua lantai diatas diisi counter HP dan kantor.
Pasar ini kelihatan tertata rapi dan bersih, dengan slogan : “Pasare Resik, Rejekine Apik” dalam usaha mengajak pedagang selalu menjaga kebersihan dan kerapian pasar.

Ada ribuan item barang yang dijual di lowerground, ada kamera, proyektor film 8 mm, hardisk, sendok, gelas, korek api kuno, lampu gantung kuno, keris, batu permata, buku, sepatu, onderdil motor, kabel-kabel, onderdil sepeda, mesin jahit, alat-alat pertukangan, susah juga untuk menyebutnya satu-persatu. Bahkan ada lukisan yang gayanya seperti lukisan maestro pelukis Indonesia, Affandi. Intinya apapun kebutuhan Anda, coba cari di pasar ini, banyak harapan tersedia.

Hampir semua barang dagangan yang digelar adalah barang bekas, barang yang sulit dicari dan sebagian diantaranya termasuk kuno, inilah yang menjadi daya tarik pasar ini dan selalu ramai oleh pengunjung. Bagi kita yang tidak sedang memerlukan mungkin termasuk barang biasa, tetapi bagi yang memerlukan barang itu merupakan barang penting yang sangat mungkin tidak bisa ditemukan di tempat lain.
Pengunjung yang sedang menimang barang dan sebagian lain tawar menawar dengan gigih adalah pemandangan yang asyik untuk disaksikan. Kegiatan tawar menawar biasanya bisa berlangsung lama karena tidak ada standard harga yang baku, semuanya bergantung kepada kepentingan. Kalau calon pembeli sudah ngebet ingin memiliki, dan kemungkinan juga kecil dijumpai di pedagang lain, biasanya calon pembeli barang harus bolak-balik melemparkan jurus negosiasi, kalau perlu dengan wajah agak memelas untuk meluluhkan hati pedagang agar mau melepas barang dengan harga yang dia inginkan.

Saya sempat ngobrol dengan Pak Parjono, seorang abdi dalem kraton Ngayogyakarta yang berdagang khusus onderdil sepeda. Entah mana yang samben dan mana profesi pokok, yang jelas dia masih aktif apel di keraton dua kali seminggu dan selalu menjadi anggota pasukan pengawal Gunungan pada saat grebeg. Dari dasaran dagangannya saya menemukan plat merek asli dari sepeda-sepeda yang pernah saya kenal di masa kecil, antara lain Fongres, Philips, Batavus, Raleigh, Humber, Teha, Pahrrader, Hermes, Lokomotief, Westing, Gazelle, dan ketika saya teliti ternyata masih logam aslinya, ada yang kuningan dan pelat verchroom. Dia berburu barang-barang langka ini sampai ke desa-desa, bukan menunggu orang yang datang menjual. Pembeli barang langka ini adalah para kolektor sepeda onthel kuno untuk melengkapi asesoris sepeda koleksinya.

Jangan dikira bahwa penjual barang hanya pedagang yang membuka kios di pasar ini, karena pengunjungpun bisa jadi penjual. Mereka itu adalah pengunjung yang ingin menjual barangnya dengan berbagai kepentingan, dari mulai butuh uang, barangnya sudah nggak mode, dan berbagai macam alasan lainnya, termasuk diantaranya mungkin (mungkin lho!!!) dapat barang dari hasil kejahatan. Memang pasar ini merupakan tempat yang tepat dan mudah untuk melempar barang yang mungkin dirumah sudah tidak diperlukan, atau mungkin sedang butuh uang. Bisa terjadi proses jual beli terjadi antar pengunjung sendiri kalau pas “jodho”. Jurus jitu dari pedagang untuk menghadapi penjual yang awam dan tidak tahu harga pasar, biasanya dengan kalimat : “Wah nek niki nggih angel kulo ngedole “. (Artinya : “Wah kalau ini sih sulit menjualnya”) untuk memberi pukulan awal pada penjualnya. Kemudian diikuti dengan tawaran dengan harga sekenanya, bahkan hanya seperlimanya. Saya sempat nguping dialog ini di salah satu pedagang elektronik, saat seorang pengunjung menawarkan satu roll kabel antena tv bekas dari merk terkenal.
Pengunjung pasar tidak terbatas hanya kalangan menengah kebawah, tetapi dari berbagai kalangan sesuai kepentingannya. Bagi yang berburu barang kuno atau antik tentu kalangan berduit yang datangnya mungkin naik mobil mewah, sedang yang sekedar cari barang yang sulit dengan dana yang cekak, datangnya dengan sepeda motor atau trans yogya, atau moda angkutan umum lainnya. Gaya berpakaian pengunjung beraneka ragam dan tidak bisa dijadikan patokan dari kalangan mana. Ada yang tampil cukup dengan kaos oblong dan celana selutut lusuh ternyata yang dicari barang antik untuk koleksi.

Kalau Anda ingin berkunjung ke pasar ini, saya sarankan untuk tidak terlalu pagi, belum pada buka karena jam buka pasar ini sampai sampai malam. Walau resminya jam bukanya jam 07.00 pagi sampai jam 22.00 biasanya para pedagang baru mulai datang sekitar jam 09.00. Puncak keramaian pasar justru terjadi malam hari setelah sholat isya..

Hari sudah siang, badan saya sudah pegel karena harus berkali-kali jongkok untuk melihat-lihat barang yang saya cari, tapi tidak bisa menemukan, adik saya tidak bisa menyebut type mesin jahitnya, dan onderdil yang rusak untuk contoh tidak dikirim. Perjalanan saya kali ini hanya berhasil mengumpulkan bahan tulisan tentang salah satu keunikan di sudut kota Yogya.
Sampai ketemu di pasar “Klithikan”. Pesan saya sekali lagi, jangan salah sebut atau tulis dengan “klithihan” karena kata yang terakhir ini artinya cari-cari makanan karena kelaparan.

Rabu, 24 Maret 2010

Minum jamu bareng Elvis Presley


Mendengar kata minum jamu (baca : jamu Jawa), yang tertanam dibenak kita rasa pahit, getir, pedes dan segudang ketidak-nyamanan lainnya, dan banyak diantara kita terutama saat masih kecil takut untuk minum jamu.
Saya masih ingat jaman anak saya dulu masih balita, mbah putri saya yang selalu menjadi pengatur minum jamu di keluarga buat anak-anak, cucu dan buyut-buyutnya, melakukan adegan “pemerkosaan”, anak saya di “bondo” atau di “bedhong” (diikat kedua tangannya ke badan) dan di “cekok”. Ngeri memang adegannya. “Dicekok” artinya, jamu hasil godhogan atau gilingan dibungkus di selembar kain, katakanlah sapu tangan atau serbet makan, lalu diperas-peras dan dijejalkan ke mulut anak saya supaya air perasan jamu terminum. Tentu saja anak saya jerit-jerit nangis karena pahit dan ngeri “diperkosa”, tapi anehnya mbah putri tenang-tenang saja karena itu termasuk tradisi ritual keluarga untuk jaga kesehatan sejak balita, semua mendapat perlakuan yang sama, tanpa kecuali.
Kalau anak sulung saya baca artikel ini tentu masih ingat kepada mbah buyutnya yang bernama mbah Amat putri. Dua anak saya yang lain “selamat” dari ritual ini karena mbah buyut sudah meninggal saat mereka lahir.

Yang ingin saya bahas kali ini bukan tentang anak saya yang “diperkosa” minum jamu oleh mbah buyutnya, tapi soal minum jamu di jaman tahun 60-an yang sangat jauh dari kesan “penyiksaan”.
Di Yogya waktu itu ada dua warung jamu, Jamu Ginggang dan Jamu Ngabean Dikatakan warung jamu mungkin juga kurang pas, karena sama sekali berbeda dengan warung Jamu Jago atau Nyonya Meneer yang menjual jamu untuk tujuan pengobatan. Kedua warung itu lebih tepat di sebut restoran dengan menu khusus minuman semuanya dari jamu, dan jangan harap kita bisa menjumpai es buah, es campur, soda gembira dan semacamnya, yang ada Beras Kencur, Temu Lawak, Temu Ireng, Cabe Puyang dan lain-lain. Ada juga minuman diluar jamu, yaitu hanya bandrek bajigur dan wedang ronde sementara tidak ada menu makanan kecuali snack.
Namun, bila ada pengunjung yang butuh jamu sebagai obat juga tersedia, baik berbentuk bubuk, ramuan untuk direbus sendiri di rumah, atau seduhan, tapi golongan ini jarang.

Jamu Ginggang, lokasinya di dekat Puro Pakualaman, atau lebih tepatnya ada jalan disebelah utara bioskop Permata, masuk kearah timur. Warungnya biasa-biasa saja, menunya seperti sudah saya sebut, pengunjungya lebih banyak dari kalangan olahragawan karena disini tersedia jamu-jamu kesehatan selain jamu sebagai minuman segar. Tidak banyak yang dapat saya tulis di Jamu Ginggang ini, suasananya memang mirip-mirip warung jamu untuk pengobatan.


Jamu Ngabean, lokasinya di jalan Ngabean (sekarang Jalan KHA Dahlan), tepatnya 100 meter kearah timur dari PKU Muhammadiyah sekarang. Saat pertama saya berkunjung kesini saya terheran-heran mengapa pelayan menyodorkan dua buah menu, satu menu minuman jamu, satu lagi daftar judul PH (piringan hitam) lengkap dengan daftar lagunya milik penyanyi-penyanyi top saat itu, Elvis Presley, Pat Boone, Connie Francis, Paul Anka, Neil Sedaka, Ricky Nelson, Everly Brothers, dan yang top-top lainnya. Sambil masih penasaran saya nanya, yang ini buat apa, jawabnya disamping pesan minuman pengunjung bisa juga pesan lagu, kalau lagi sepi pengunjung kita boleh memesan satu album sekaligus, bila lagi rame dibatasi satu atau dua lagu, karena harus sharing dengan pengunjung lain. Hebat juga, jadi tepat sekali judul tulisan saya ini, “minum jamu bareng Elvis Presley” artinya selagi nikmat minum jamu sambil dihibur dengan lagu-lagu Elvis Presley favorit saya saat itu. Persepsi saya selalu kalau minum jamu yang lebih tepat diiringi gending-gending Jawa atau lagu-lagu Keroncong (saat itu belum ada Dangdut atau Campursari), nggak tahunya disini ada diskotik lengkap lagu-lagu barat yang lagi ngetop saat itu pengiring minum jamu.
Lumayan juga, promosi yang sangat berhasil, kebanyakan pengunjungnya anak-anak muda (termasuk saya waktu itu) yang memang penggemar lagu-lagu barat. Habis, kesempatan mendengarkan lagu-lagu barat (Indonesia juga) hanya bisa diperoleh lewat radio ABC, BBC, VOA, Hilversum, kadang-kadang RRI. Saat itu belum ada cassette recorder, yang ada baru tape recorder yang barangnya segede koper dengan pita yang masih dalam roll besar, atau turn table pemutar piringan hitam. Siapa mampu beli, apalagi saya, pelajar kost-kost-an yang hidup pas-pasan dari kiriman wesel orang tua.
Lumayanlah, kalau sedang kangen mendengarkan lagu-lagu top, datang saja ke Jamu Ngabean, cukup dengan segelas beras kencur, kalau lagi sepi bisa mendengarkan suara Elvis Presley cs lengkap satu album. Mau nambah pesanan lagu sungkan juga, maklum pesanan minumnya hanya segelas beras kencur.
Inovasi yang tergolong maju untuk ukuran saat itu, mungkin bisa disebut café kalau diterapkan saat ini.
Saat ini restoran ini sudah tidak beroperasi, entah mulai tahun berapa, yang jelas seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, promosi dengan cara seperti itu sudah ketinggalan.

Senin, 22 Maret 2010

Belanja di Malioboro dan Beringharjo


•Belanja di Malioboro




Malioboro, atau lebih tepatnya trotoir sisi barat sepanjang jalan Malioboro adalah surga belanja souvenir dan asesoris buat oleh-oleh para wisatawan domestik maupun wisman. Digelar sepanjang ujung utara Malioboro mulai dari teteg sepur hingga seberang pasar Beringharjo. Sebenarnya tempatnya cukup nyaman karena terlindung dari terik panas matahari pada jam berapapun, tetapi yang bikin gerah adalah berjejal-jejalnya para pk5 dan pengunjungnya, apalagi pada Minggu, hari-hari libur nasional, atau musim liburan.
Perlu Anda cermati sebelum berbelanja, bahwa hampir tidak ada barang yang spesifik di satu pk5, artinya barang serupa bisa Anda jumpai di pk5 yang lain mungkin dengan bentuk dan kualitas yang persis sama atau mungkin lebih baik.

Untuk memulai berburu belanja baiknya Anda berangkat dari ujung utara, atau tepatnya seberang hotel Garuda. Di daerah ini umumnya agak longgar dan tidak berdesak-desakan, apalagi bila hari masih pagi (tetapi ya jangan terlalu pagi, kurang dari jam 09.00, belum semua buka). Cari barang apa yang Anda butuhkan sesuai rencana, atau boleh juga tanpa rencana, tinggal tergantung berapa modal yang Anda miliki untuk berburu. Lihat-lihat dan pilih tetapi jangan terburu-buru menjatuhkan pilihan dan menanyakan harganya, bisa-bisa Anda kecewa karena barang serupa yang lebih bagus bisa Anda jumpai di tempat lain.
Teruskan perburuan Anda menuju arah selatan, sampai seberang Malioboro Mall biasanya sudah semakin sesak. Anda sudah boleh mulai menjatuhkan pilihan dan menanyakan harganya. Pedagang akan membuka harga, dan giliran Anda menawar. Anda tidak usah ragu untuk menawar pada sepertiga harga penawaran.
Jangan khawatir dan sungkan, karena kekhawatiran pedagangnya marah atau kesungkanan Anda itu yang dimanfaatkan oleh pedagang. Kalau masih belum sepakat paling-paling dia hanya akan mengatakan : “Wah belum dapat, pokoknya aja belum kembali”. Jangan kesusu, naikkan tawaran sedikit demi sedikit, nanti pada kisaran 50% dari harga penawaran biasanya sudah terlihat tanda-tanda mulai terjadi kesepakatan.



Pada posisi ini biasanya pedagang akan mengatakan : “ Sudahlah Mas,mBak,Bu, Pak, tambah aja sedikit nanti saya kasih”. Itu adalah tanda-tanda kesepakatan harga sudah hampir tercapai, namun pedagang masih berusaha menambah keuntungan. Sabarlah dan tetap bertahan, dan mulailah beranjak meninggalkan pedagang ini. Hampir pasti setelah kira-kira 10 meter Anda berjalan, Anda akan dipanggil kembali. Itupun kadang-kadang pedagang masih minta tambahan sedikit lagi. Keputusan akhir ada di tangan Anda, boleh manambah sesuai permintaan pedagang atau berakting lagi meninggalkan tempat. Seandainya tetap saja pedagang tidak tidak mau menyerah, tetap saja Anda teruskan perjalanan karena di tempat lain Anda masih bisa menjumpai barang serupa, bahkan mungkin lebih bagus, yang penting Anda sudah punya gambaran berapa sebenarnya harga yang layak untuk barang yang Anda minati tadi.

Bagi Anda yang sengaja kulakan, silakan telusuri jalan-jalan cabang Malioboro yang kearah timur, disana banyak toko yang khusus melayani pembeli kulakan, meskipun pembeli eceran juga tetap dilayani.

Pengalaman lain, sesekali waktu mungkin dengan sekali tawar pedagang setuju. Jangan salah sangka dan mengira bahwa Anda pandai menawar. Justru sebaliknya, itu menunjukkan bahwa tawaran Anda terlalu tinggi.
Inti dari tulisan saya ini adalah bahwa Anda perlu bersabar dan menyediakan waktu yang cukup untuk berbelanja di pk5 Malioboro, apakah itu buat oleh-oleh, untuk sendiri, bahkan mungkin kulakan, sediakan waktu paling tidak setengah hari untuk berburu di Malioboro yang nanti diakhiri di pasar Beringharjo, sesuai saran saya kepada Anda untuk memulai perjalanan dari ujung utara dan kemudian diakhiri di ujung selatan di Pasar Beringharjo.


Belanja di Pasar Beringharjo




Konon pasar ini sudah ada sejak tahun 1758, jadi sudah cukup tua, dan sudah beberapa kali mengalami renovasi bahkan pernah terjadi kebakaran, sebelum menjadi bentuknya yang sekarang. Ada banyak jenis barang dagangan di pasar ini, ada khusus los untuk berburu bahan jamu Jawa (baca : tradisional), los barang pernik-pernik kelengkapan upacara manten, dan yang paling terkenal adalah los penjual bahan TPT (tekstil dan produk tekstil) khususnya batik

Untuk belanja batik, memang pasar Beringharjo surganya, pilihan lebih lengkap dan harganya miring kalau kita pandai menawar, tetapi Anda harus sudah maklum bahwa di pasar ini batik yang dijual bukan dari kelas selebritis macam batik Keris, Danarhadi atau sekelasnya. Yang dijual di Beringharjo adalah batik untuk pakaian harian, santai, bahkan mungkin sekali dua kali pakai saja, bukan untuk menghadiri resepsi di hotel berbintang atau wawancara di televisi. Ada informasi yang masih perlu diuji kebenarannya mengatakan bahwa harga batik di pasar ini mulai dari puluhan ribu sampai jutaan rupiah. Rasanya saya belum pernah menemui batik yang harganya sekitar satu jutaan di pasar ini, karena umumnya yang dijual adalah jenis batik untuk pakaian harian, utamanya buat oleh-oleh, mulai dari rok, daster, baju untuk pria/wanita, sarung bantal kursi, sprei dan semacamnya.. Kalau jumlah sekali transaksi mencapai jutaan, itu sangat mungkin karena buat oleh-oleh atau memang sengaja kulakan.
Bagi yang memerlukan pakaian batik untuk resepsi hampir pasti mereka lebih memilih di toko-toko di Malioboro seperti Batik keris, Danarhadi atau di Malioboro Mall, dan sekelasnya
Soal motif tidak usah khawatir, Anda bisa mendapatkan batik dengan motif yang sama dengan batik yang dikenakan tokoh-tokoh penting yang sering wawancara di televisi, yang berbeda mungkin hanya bahannya atau cara membatiknya, yang itu tulis, yang di Beringharjo batik cap, dan mungkin juga keawetan warnanya tidak sama.

Bagaimana teknik menawarnya, inilah tips saya. Di Beringharjo dikenal istilah “setangkep”, maksudnya begini, kalau pedagang membuka harga, tawar dengan mengatakan apakah harga itu “setangkep ?”, artinya Anda menawar dengan harga 50%, karena kata setangkep artinya 2 buah/sepasang. Seperti halnya di Malioboro, Anda harus setahap demi setahap menaikkan tawaran. Kalau memang Anda sudah love at the first sight, jangan sekali-kali Anda perlihatkan. Lakukan akting seolah-olah Anda biasa-biasa saja dan beranjak meninggalkan pedagang ini supaya ganti dia yang menurunkan harga penawarannya. Sekali lagi jangan kesusu, kalau pedagang sudah mulai minta tambah sekian-sekian artinya sudah hampir terjadi kesekapatan harga.
Ada yang lebih khas lagi selama Anda berbelanja batik di pasar ini. Gang-gangnya sangat sempit, jadi kalau sudah agak siangan bermacam aroma campur baur di gang-gang kios penjual batik, ada bau parfum, bau keringat, obat-obatan pewarna batik campur aduk jadi satu, tapi suasana seperti ini tetap saja dinikmati oleh para pembelanja, habis tidak ada alternative lain, karena memang seni berbelanja di Beringharjo adalah sambil “suk-sukan”, senggol-senggolan (khususnya hari Minggu dan liburan) sembari tercium berbagai aroma.



Sementara kita sedang tawar menawar atau memilih barang terdorong sesama pembelanja lain yang jalan terburu-buru sambil bertelepon di HP dengan tidak memperhatikan lingkungan.
Kadang terasa nikmat juga dan “ngangeni”. Tidak percaya ? Silakan coba !

Inilah tips saya untuk belanja di pk5 Malioboro dan pasar Beringharjo, terutama
bagi mereka yang belum pernah, atau yang sudah pernah tetapi merasa harganya kemahalan. Ingat bahwa para pk5 tidak bermaksud melakukan penipuan tetapi semata-mata memanfaatkan kesungkanan Anda dalam menawar untuk memperoleh untung yang lebih banyak. Wajar kan?

Satu lagi tips saya, setelah Anda belanja batik untuk keperluan sendiri atau oleh-oleh, silakan kunjungi bagian ujung belakang (timur) pasar Beringharjo di los-los yang jual bahan jamu Jawa, beli buah “lerak”, atau lerak dalam bentuk cair yang sudah siap pakai. Lerak digunakan untuk mencuci batik, konon warna batik akan lebih awet dan tidak cepat “mbladhus” (terjemahan yang mendekati mungkin “kusam”) dibanding bila Anda mencucinya dengan deterjen. Termasuk berikan lerak ini kepada tetangga yang Anda beri oleh-oleh karena belum tentu lerak bisa didapat di semua kota.

Sampai ketemu di Malioboro dan pasar Beringharjo.
Catatan : foto-foto hasil penelusuran di Google.