Rabu, 07 April 2010

Bule kecil “kurang ajar”

Di Malioboro, ketika melintasi serombongan (satu keluarga) turis manca negara sedang berbincang di depan hotel Mutiara, cucu saya terheran-heran memperhatikan seorang bule kecil memanggil ayahnya dengan hanya menyebut namanya saja, John, Edward, Bill atau yang lain-lain. Betul-betul “kurang ajar” anak bule ini katanya, masak kepada ayahnya sendiri “njangkar”.
Dalam bahasa Indonesia, “njangkar” berarti memanggil dengan cara tidak sopan kepada orang yang lebih tua. Dia (cucu saya), tidak tahu bahwa si bule kecil ini memang tidak punya budaya atau tradisi memanggil ayahnya atau orang-orang yang lebih tua dengan pak, pakde, paklik, mas, bu, mbak, bulik (dalam bahasa mereka), seperti yang selama ini dia lakukan sesuai apa yang diajarkan orang tuanya.

“Desa mawa cara, negara mawa tata” (cara melafalkannya yang tepat, baca huruf “a” dalam kalimat ini dengan “o” seperti kita melafalkan kata “Sosro” , bukan seperti kata “Solo”, karena memang itulah aturan menulis dalam bahasa Jawa, rumit kan ?). Itulah sebuah ungkapan dalam bahasa Jawa yang artinya kira-kira semua daerah atau negara mempunyai adat, budaya, tradisi yang berlaku secara lokal di lingkungan masyarakatnya masing-masing. Ini tidak berkaitan dengan masalah politik atau konstitusi tetapi murni tata kehidupan masyarakat.

Sebagai orang Jawa, saya, anak saya, bahkan sampai cucu saya sekarang ini masih sangat kental mengenal dan menjalankan tradisi sebutan pak, bu, eyang, mbah, bulik, paklik, bude, pakde, mas, mbak kepada orang yang lebih tua umurnya, atau yang secara tradisi menjadi dituakan.

Khusus dengan tradisi yang dituakan itulah yang akan menjadi pokok bahasan tulisan saya ini, suatu hal yang mungkin belum semua orang tahu.

Disini saya sertakan dua buah foto.Saya punya cucu, bahkan cucu saya ini yang termuda dari seluruh delapan orang cucu saya, namanya Najwa (lihat fotonya yang lucu), dan satu lagi foto dua orang anak,namanya Epal dan Vira, cucu adik saya. Dalam usia yang baru tujuh bulan, ketika tulisan ini saya buat, Najwa cucu saya sudah menyandang sebutan mbak dari Epal dan Vira, dan tentu saja dari cucu adik-adik saya yang lain berapapun usianya, Memang secara tradisi mereka harus memanggil mbak Najwa kepada cucu saya ini.

Agak sulit untuk menjelaskan, bagaimana mungkin seorang yang sudah sekolah di SD atau bahkan SMU harus memanggil seorang balita yang umurnya jauh lebih muda darinya dengan panggilan mas atau mbak. Agak bertentangan dengan aturan bahwa seseorang memanggil mbak atau mas kepada yang lebih tua umurnya. Tetapi itulah tradisi kekerabatan yang masih dijunjung tinggi di keluarga Jawa.
Kebetulan saya terlahir sebagai anak “mbarep” (sulung) . Keberuntungan bagi anak-anak dan cucu-cucu saya yang selalu mendapat posisi “atas” di jaringan keturunan keluarga saya. Mereka selalu “menang” posisi terhadap anak dan cucu adik-adik saya dan mendapat keistimewaan selalu mendapat pangilan dengan “mas” atau “mbak”.
Sebaliknya, kasihan juga, seorang anak yang lahir sebagai “ragil” (bungsu), tidak akan pernah mendapat panggilan mas atau mbak dari anak-anak pakde kandungnya walaupun usianya jauh lebih tua sekalipun. Dan kewajiban ini berlaku seumur hidup sampai dewasa dan tua .Rumit kan ?

Tidak mudah untuk menjelaskan kepada mereka, tapi itulah tradisi turun temurun yang sudah melekat di keluarga Jawa. Protes memang kadang-kadang ada namun pada umumnya mereka akhirnya bisa juga menerima kenyataan ini. Mengapa mereka akhirnya menerima, karena di keluarga Jawa mereka yang tidak melaksanakan aturan ini akan mendapat cap “ora ngerti unggah ungguh” atau kalau diterjemahkan “tidak mengerti sopan santun”. Mungkin karena takut mendapat cap semacam ini, maka, mau tidak mau, senang tidak senang, mereka harus melaksanakannnya.
Bagaimanapun saya masih berbesar hati bahwa dilingkungan keluarga besar saya, tidak memandang apakah mereka tinggal di pedesaan atau di kota-kota besar seperti Jakarta sekalipun, masih setia menganut tradisi semacam ini. Ini berarti bahwa mereka masih menyadari ke-Jawa-annya, dan tidak pernah terkontaminasi oleh budaya “bule kecil kurang ajar’ seperti judul tulisan ini.

1 komentar:

  1. Hidup budaya Indonesia...Jogjakarta khususnya :-)
    .
    ..
    bengkel-sehat.blogspot.com
    m-ict.blogspot.com

    BalasHapus