Saat itu di Yogya bisa dijumpai beberapa gedung bioskop. Rahayu di jalan Solo, Rex/Ratih di P. Mangkubumi, Indra di Malioboro, Senisono dekat Gedung Agung, Soboharsono di alun-alun utara, Luxor/Permata di Pakualaman dan Pathuk di ujung jalan Pathuk. Bioskop-bioskop ini terbagi dalam tiga katagori, yang termasuk kelas atas interior dan tempat duduknya lebih bagus, dengan nomer kursi, proyektornya dua buah sehingga tidak ada istirahat saat operator mengganti rol film. Layarnyapun sudah disesuaikan dengan perkembangan ukuran skala gambar yang dikenal dengan istilah cinemascope atau lebih dikenal dengan layar lebar dan lengkung, sound systemnya juga lumayan bagus untuk ukuran masa itu, meskipun belum dilengkapi dengan Dolby stereo. Tempat duduk dibagi lagi menjadi kelas-kelas, ada yang namanya Loge atau Balkon, kelas I, II, III. Kelas Loge atau Balkon biasanya lantainya sejajar dengan proyektor, penontonnya lebih sophisticated, tidak suka ribut meskipun mereka yang duduk di kelas depan (III) sekalipun.
Yang termasuk kelas kambing minta ampun, di barisan kursi depan biasanya tercium bau pesing karena ulah penonton yang suka buang air kecil di bawah layar, dan penontonnya ribut bukan main kalau film putus atau ada adegan yang “serem” (misalnya kissing atau jagoannya menang berkelahi). Tidak cukup dengan tepuk tangan, tetapi disertai dengan teriakan-teriakan dan menepuk-nepuk kursi dengan sandal.
Termasuk katagori kelas atas Rahayu dan Ratih, menengah Indra, Soboharsono, Senisono dan Permata, kelas kambing bioskop Pathuk. Jam pertunjukan berbeda dengan kota lain, bahkan dibanding Jakarta atau Surabaya sekalipun. Umumnya jam pertunjukan pukul 17.00, 19.00 dan 21.00 tetapi di Yogya berbeda, ada pertunjukan pukul 10.00 pagi setiap hari atau yang disebut pertunjukan matinee. Di kota lain umumnya matinee hanya ada pada hari Minggu atau hari libur. Alasannya, Yogya adalah Kota Pelajar, dimana jam belajar mengajar sekolah-sekolah mulai pagi hingga malam hari. Inilah yang mendasari kebijaksanaan Pemda mengijinkan pertunjukan matinee setiap hari, dengan maksud pelajar dan mahasiswa masuk sore atau malam punya kesempatan nonton pagi, walaupun pada prakteknya banyak juga pelajar nakal yang suka bolos untuk nonton matinee. Harus dimaklumi bahwa pada saat itu fasilitas hiburan utama bagi masyarakat yang ada hanya bioskop, belum ada televisi atau media hiburan elektronik lainnya seperti sekarang ini.
Film-film yang diputar umumnya ex Hollywood, produksi MGM (Metro Goldwyn Meyer), Columbia Pictures, atau Twentieth Century Fox, yang kebanyakan dari genre western (baca cowboy) seperti The Good The Bad and The Ugly, Gun Fight at OK Coral, The Last Sunset, Shane, Last Train from Gunhill, dan drama musical seperti Rock Around the Clock, Jailhouse Rock, King Creole, Love Me Tender, April Love, Blue Suede Shoes, Roman Holiday. Bintang-bintang yang sering tayang dilayar bioskop-bioskop kelas atas antara lain Burt Lancaster, John Wayne, Ronald Reagan, Gary Cooper, Allan Ladd, Anthony Quin, Kirk Douglas, Gregory Peck, Elizabeth Taylor, Susan Hayward, Rita Hayworth, Audrey Hepburn, Charlston Heston, Lee Van Cleef, dan tidak lupa si “buruk muka” Jack Palance dan Ernst Borgnine yang selalu berperan sebagai tokoh antagonis.
Penyanyi yang juga main film adalah Elvis Presley, Pat Boone, Connie Francis, Doris Day.
Film-film first run dari kedua jenis tersebut biasanya diputar simultan di Rahayu dan Ratih, atau di Indra. Bioskop-bioskop yang lain umumnya memutar film-film second run atau film Indonesia, yang saat itu biasa disebut film Jawa, dengan bintangnya yang terkenal Titien Soemarni, AN Alcaff, serta film Asia lainnya.
Diantara film-film musikal yang pernah diputar, maka film Rock Around The Clock merupakan film favorit saya dan sempat menontonnya hingga 3 kali, 2 kali saat first run dan sekali pada second run. Film musikal ini menampilkan group band rock Bill Haley and His Comets, dan sebuah group pop bernama The Platters. Hingga saat ini lagu-lagu hits ini masih melegenda dan masih sering saya putar di cd player saya, lagu itu adalah Only You, Smoke Gets in Your Eyes dan The Great Pretender. Film inilah merupakan awal kebangkitan musik rock and roll sebelum munculnya Elvis Presley.
Untuk menonton di Rahayu, Ratih atau Indra perlu perjuangan tersendiri, mengapa demikian ? Seperti disebut dimuka, fasilitas hiburan bagi masyarakat yang utama adalah bioskop. Untuk menonton film-film baru pada pemutaran perdana hingga hari ketiga, kita harus datang lebih awal sebelum loket dibuka untuk mendapat posisi antrian dekat loket, kalau tidak, kita bisa batal nonton karena kehabisan karcis atau harus berhadapan dengan calo yang harganya bisa dua kali lipat, tergantung filmnya, atau, kita harus tetap ngantri dua jam lagi untuk jam pertunjukan berikutnya dengan mempertahankan posisi kita di antrian. Di bioskop Indra saat diputar film musical Rock Around the clock, antrian karcisnya berujung hingga ke Malioboro. Demikian juga di Ratih dan Rahayu saat diputar film musical dengan bintangnya Elvis Presley antrian berujung di jalan P. Mangkubumi dan jalan Solo. Menonton selain hari-hari itu memang lebih longgar, tetapi itu berarti kita sudah ketinggalan informasi, dan kita hanya akan jadi pendengar kala teman-teman kita di sekolah, dikantor atau tetangga sebelah, berdiskusi tentang film yang sedang diputar, sementara waktu nonton sudah tidak surprise lagi karena jalan ceritanya sudah kita dengar dari tetangga atau teman.
Bicara tentang calo karcis, bioskop Indra punya petugas keamanan (katakanlah sekarang Satpam) namanya Pak Min. Dia memang seorang pendekar (pendek dan kekar) dengan wajah bulat mirip Ernst Borgnine. Dia inilah yang paling berani dan tegas menertibkan para calo yang biasanya menerombol antrian sehingga terjadi kericuhan di depan loket. Kalau dia sudah marah, dia lolos ikat pinggangnya dan diputar-putar diatas kepalanya bak seorang pendekar, dan dengan tidak pandang bulu calo yang tidak mau tertib pasti kena sabetan ikat pinggangnya. Dia bak seorang dewa penyelamat bagi para calon penonton yang sudah sejak awal mau mengantri dengan tertib. Terima kasih pak Min, ketegasanmu selalu kukenang.
Sebenarnya bagi para calon penonton, calo karcis bukan sosok yang harus selalu dimusuhi, yang membuat para calon penonton jengkel dan kesal adalah ulahnya yang suka menyerobot antrian langsung ke depan loket.
Di sisi lain, jasa calo kadang-kadang juga sangat dibutuhkan. Bayangkan, malam Minggu, Anda seorang pria yang sedang pendekatan dengan seseorang calon pacar, lagi kencan dengan acara menonton bioskop. Tentu Anda sudah berpakaian rapi dan selalu ingin kelihatan rapi dihadapan calon pacar, apakah kira-kira Anda mau jadi lecek gara-gara berdesak-desakan ngantri karcis. Tentu Anda sangat butuh jasa calo untuk mendapatkan karcis dan berapapun harganya pasti Anda bayar agar tetap kelihatan generous di hadapan calon pacar. Betul kan ? Menurut saya betul,….. pengalaman !
Poster hasil penelusuran di Google.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar