Minggu, 28 Maret 2010

Jangan salah, klithikan, bukan klithihan

Dari Magelang saya nik bis Semarang-Yogya, turun di terminal Jombor, langsung masuk shelter bis Trans Yogya, memang inilah moda trtasportasi favorit saya setiap saat ke Yogya dengan tujuan manapun. Tujuan saya kali ini ke pasar Klithikan, naik jalur 2B, transit jalur 3 A di shelter hotel Garuda, transit lagi ke jalur 2B di shelter KHA Dahlan, turun di shelter Wirobrajan, jalan kaki kira-kira 100 meter sampailah ke pasar ini, tepatnya di Jl. HOS Cokroaminoto, dekat SMUN-1 Teladan. Sebenarnya ada cara yang lebih praktis, di terminal Jombor ganti bis mini Tempel-Yogya, bisa langsung turun di depan pasar, tapi nggak nyaman karena tanpa AC.
Saya perlukan mengunjungi pasar ini karena ada pesanan dari adik saya yang tinggal di Nganjuk (Jawa timur) untuk mencarikan onderdil mesin jahit Singer kuno peninggalan almarhum bapak saya karena sudah tidak bisa dibeli lagi di toko atau dealer. Maklum usia mesin jahitnya sudah lebih dari 80 tahun, tidak untuk dioperasikan tetapi sekedar merawat barang peninggalan orang tua.

Memang agak susah mencari terjemahan kata dalam bahasa Jawa ‘klithikan’ ke bahasa Indonesia, mungkin kalau ke bahasa Inggris bisa diterjemahkan menjadi small articles. Sebagian orang mengisahkan bahwa kata “klithikan” berasal dari kata “klithik”, suara mata uang logam yang dilempar dan jatuh ke lantai dengan menimbulkan bunyi “klithik”. Karena itu, orang-orang yang termasuk pelit, bila ingin bersedekah kepada pengemis atau tukang ngamen di bis selalu yang dicari “uang klithik”, maksudnya uang receh logam. Jangan ditiru !!!
Cara melafalkan yang benar adalah : Kli=kli, thik=seperti teman-teman kita di Bali melafalkan tik, dan an=an. Seperti judul saya diatas jangan salah tulis jadi klithihan, karena yang ini artinya mencari-cari makanan karena lapar.

Bangunan pasar ini masih tergolong baru, diresmikan Menteri Koperasi dan UKM, Drs. Suryadharma Ali tanggal 13 Desember 2007, untuk menampung para pedagang kaki lima yang dulu berjualan di jalan Mangkubumi, Pasar Kranggan, Alun-alun Kidul, perempatan Ngasem, dan beberapa sudut lokasi di pinggiran jalanan kota Yogya lainnya. Bangunan berlantai tiga termasuk satu lowerground, yang dibagi menjadi empat blok besar, dimana setiap los dibagi menjadi kira-kira 8 petak berukuran sekitar 2x2 meter persegi tanpa penyekat. Di lowerground inilah yang sebenarnya paling tepat disebut pasar klithikan, karena dua lantai diatas diisi counter HP dan kantor.
Pasar ini kelihatan tertata rapi dan bersih, dengan slogan : “Pasare Resik, Rejekine Apik” dalam usaha mengajak pedagang selalu menjaga kebersihan dan kerapian pasar.

Ada ribuan item barang yang dijual di lowerground, ada kamera, proyektor film 8 mm, hardisk, sendok, gelas, korek api kuno, lampu gantung kuno, keris, batu permata, buku, sepatu, onderdil motor, kabel-kabel, onderdil sepeda, mesin jahit, alat-alat pertukangan, susah juga untuk menyebutnya satu-persatu. Bahkan ada lukisan yang gayanya seperti lukisan maestro pelukis Indonesia, Affandi. Intinya apapun kebutuhan Anda, coba cari di pasar ini, banyak harapan tersedia.

Hampir semua barang dagangan yang digelar adalah barang bekas, barang yang sulit dicari dan sebagian diantaranya termasuk kuno, inilah yang menjadi daya tarik pasar ini dan selalu ramai oleh pengunjung. Bagi kita yang tidak sedang memerlukan mungkin termasuk barang biasa, tetapi bagi yang memerlukan barang itu merupakan barang penting yang sangat mungkin tidak bisa ditemukan di tempat lain.
Pengunjung yang sedang menimang barang dan sebagian lain tawar menawar dengan gigih adalah pemandangan yang asyik untuk disaksikan. Kegiatan tawar menawar biasanya bisa berlangsung lama karena tidak ada standard harga yang baku, semuanya bergantung kepada kepentingan. Kalau calon pembeli sudah ngebet ingin memiliki, dan kemungkinan juga kecil dijumpai di pedagang lain, biasanya calon pembeli barang harus bolak-balik melemparkan jurus negosiasi, kalau perlu dengan wajah agak memelas untuk meluluhkan hati pedagang agar mau melepas barang dengan harga yang dia inginkan.

Saya sempat ngobrol dengan Pak Parjono, seorang abdi dalem kraton Ngayogyakarta yang berdagang khusus onderdil sepeda. Entah mana yang samben dan mana profesi pokok, yang jelas dia masih aktif apel di keraton dua kali seminggu dan selalu menjadi anggota pasukan pengawal Gunungan pada saat grebeg. Dari dasaran dagangannya saya menemukan plat merek asli dari sepeda-sepeda yang pernah saya kenal di masa kecil, antara lain Fongres, Philips, Batavus, Raleigh, Humber, Teha, Pahrrader, Hermes, Lokomotief, Westing, Gazelle, dan ketika saya teliti ternyata masih logam aslinya, ada yang kuningan dan pelat verchroom. Dia berburu barang-barang langka ini sampai ke desa-desa, bukan menunggu orang yang datang menjual. Pembeli barang langka ini adalah para kolektor sepeda onthel kuno untuk melengkapi asesoris sepeda koleksinya.

Jangan dikira bahwa penjual barang hanya pedagang yang membuka kios di pasar ini, karena pengunjungpun bisa jadi penjual. Mereka itu adalah pengunjung yang ingin menjual barangnya dengan berbagai kepentingan, dari mulai butuh uang, barangnya sudah nggak mode, dan berbagai macam alasan lainnya, termasuk diantaranya mungkin (mungkin lho!!!) dapat barang dari hasil kejahatan. Memang pasar ini merupakan tempat yang tepat dan mudah untuk melempar barang yang mungkin dirumah sudah tidak diperlukan, atau mungkin sedang butuh uang. Bisa terjadi proses jual beli terjadi antar pengunjung sendiri kalau pas “jodho”. Jurus jitu dari pedagang untuk menghadapi penjual yang awam dan tidak tahu harga pasar, biasanya dengan kalimat : “Wah nek niki nggih angel kulo ngedole “. (Artinya : “Wah kalau ini sih sulit menjualnya”) untuk memberi pukulan awal pada penjualnya. Kemudian diikuti dengan tawaran dengan harga sekenanya, bahkan hanya seperlimanya. Saya sempat nguping dialog ini di salah satu pedagang elektronik, saat seorang pengunjung menawarkan satu roll kabel antena tv bekas dari merk terkenal.
Pengunjung pasar tidak terbatas hanya kalangan menengah kebawah, tetapi dari berbagai kalangan sesuai kepentingannya. Bagi yang berburu barang kuno atau antik tentu kalangan berduit yang datangnya mungkin naik mobil mewah, sedang yang sekedar cari barang yang sulit dengan dana yang cekak, datangnya dengan sepeda motor atau trans yogya, atau moda angkutan umum lainnya. Gaya berpakaian pengunjung beraneka ragam dan tidak bisa dijadikan patokan dari kalangan mana. Ada yang tampil cukup dengan kaos oblong dan celana selutut lusuh ternyata yang dicari barang antik untuk koleksi.

Kalau Anda ingin berkunjung ke pasar ini, saya sarankan untuk tidak terlalu pagi, belum pada buka karena jam buka pasar ini sampai sampai malam. Walau resminya jam bukanya jam 07.00 pagi sampai jam 22.00 biasanya para pedagang baru mulai datang sekitar jam 09.00. Puncak keramaian pasar justru terjadi malam hari setelah sholat isya..

Hari sudah siang, badan saya sudah pegel karena harus berkali-kali jongkok untuk melihat-lihat barang yang saya cari, tapi tidak bisa menemukan, adik saya tidak bisa menyebut type mesin jahitnya, dan onderdil yang rusak untuk contoh tidak dikirim. Perjalanan saya kali ini hanya berhasil mengumpulkan bahan tulisan tentang salah satu keunikan di sudut kota Yogya.
Sampai ketemu di pasar “Klithikan”. Pesan saya sekali lagi, jangan salah sebut atau tulis dengan “klithihan” karena kata yang terakhir ini artinya cari-cari makanan karena kelaparan.

1 komentar:

  1. mas kira-kira pengaruh gak sih nawar dengan bahasa jawa atau gak nya di pasar klithikan ini? trims

    BalasHapus