Rabu, 24 Maret 2010

Minum jamu bareng Elvis Presley


Mendengar kata minum jamu (baca : jamu Jawa), yang tertanam dibenak kita rasa pahit, getir, pedes dan segudang ketidak-nyamanan lainnya, dan banyak diantara kita terutama saat masih kecil takut untuk minum jamu.
Saya masih ingat jaman anak saya dulu masih balita, mbah putri saya yang selalu menjadi pengatur minum jamu di keluarga buat anak-anak, cucu dan buyut-buyutnya, melakukan adegan “pemerkosaan”, anak saya di “bondo” atau di “bedhong” (diikat kedua tangannya ke badan) dan di “cekok”. Ngeri memang adegannya. “Dicekok” artinya, jamu hasil godhogan atau gilingan dibungkus di selembar kain, katakanlah sapu tangan atau serbet makan, lalu diperas-peras dan dijejalkan ke mulut anak saya supaya air perasan jamu terminum. Tentu saja anak saya jerit-jerit nangis karena pahit dan ngeri “diperkosa”, tapi anehnya mbah putri tenang-tenang saja karena itu termasuk tradisi ritual keluarga untuk jaga kesehatan sejak balita, semua mendapat perlakuan yang sama, tanpa kecuali.
Kalau anak sulung saya baca artikel ini tentu masih ingat kepada mbah buyutnya yang bernama mbah Amat putri. Dua anak saya yang lain “selamat” dari ritual ini karena mbah buyut sudah meninggal saat mereka lahir.

Yang ingin saya bahas kali ini bukan tentang anak saya yang “diperkosa” minum jamu oleh mbah buyutnya, tapi soal minum jamu di jaman tahun 60-an yang sangat jauh dari kesan “penyiksaan”.
Di Yogya waktu itu ada dua warung jamu, Jamu Ginggang dan Jamu Ngabean Dikatakan warung jamu mungkin juga kurang pas, karena sama sekali berbeda dengan warung Jamu Jago atau Nyonya Meneer yang menjual jamu untuk tujuan pengobatan. Kedua warung itu lebih tepat di sebut restoran dengan menu khusus minuman semuanya dari jamu, dan jangan harap kita bisa menjumpai es buah, es campur, soda gembira dan semacamnya, yang ada Beras Kencur, Temu Lawak, Temu Ireng, Cabe Puyang dan lain-lain. Ada juga minuman diluar jamu, yaitu hanya bandrek bajigur dan wedang ronde sementara tidak ada menu makanan kecuali snack.
Namun, bila ada pengunjung yang butuh jamu sebagai obat juga tersedia, baik berbentuk bubuk, ramuan untuk direbus sendiri di rumah, atau seduhan, tapi golongan ini jarang.

Jamu Ginggang, lokasinya di dekat Puro Pakualaman, atau lebih tepatnya ada jalan disebelah utara bioskop Permata, masuk kearah timur. Warungnya biasa-biasa saja, menunya seperti sudah saya sebut, pengunjungya lebih banyak dari kalangan olahragawan karena disini tersedia jamu-jamu kesehatan selain jamu sebagai minuman segar. Tidak banyak yang dapat saya tulis di Jamu Ginggang ini, suasananya memang mirip-mirip warung jamu untuk pengobatan.


Jamu Ngabean, lokasinya di jalan Ngabean (sekarang Jalan KHA Dahlan), tepatnya 100 meter kearah timur dari PKU Muhammadiyah sekarang. Saat pertama saya berkunjung kesini saya terheran-heran mengapa pelayan menyodorkan dua buah menu, satu menu minuman jamu, satu lagi daftar judul PH (piringan hitam) lengkap dengan daftar lagunya milik penyanyi-penyanyi top saat itu, Elvis Presley, Pat Boone, Connie Francis, Paul Anka, Neil Sedaka, Ricky Nelson, Everly Brothers, dan yang top-top lainnya. Sambil masih penasaran saya nanya, yang ini buat apa, jawabnya disamping pesan minuman pengunjung bisa juga pesan lagu, kalau lagi sepi pengunjung kita boleh memesan satu album sekaligus, bila lagi rame dibatasi satu atau dua lagu, karena harus sharing dengan pengunjung lain. Hebat juga, jadi tepat sekali judul tulisan saya ini, “minum jamu bareng Elvis Presley” artinya selagi nikmat minum jamu sambil dihibur dengan lagu-lagu Elvis Presley favorit saya saat itu. Persepsi saya selalu kalau minum jamu yang lebih tepat diiringi gending-gending Jawa atau lagu-lagu Keroncong (saat itu belum ada Dangdut atau Campursari), nggak tahunya disini ada diskotik lengkap lagu-lagu barat yang lagi ngetop saat itu pengiring minum jamu.
Lumayan juga, promosi yang sangat berhasil, kebanyakan pengunjungnya anak-anak muda (termasuk saya waktu itu) yang memang penggemar lagu-lagu barat. Habis, kesempatan mendengarkan lagu-lagu barat (Indonesia juga) hanya bisa diperoleh lewat radio ABC, BBC, VOA, Hilversum, kadang-kadang RRI. Saat itu belum ada cassette recorder, yang ada baru tape recorder yang barangnya segede koper dengan pita yang masih dalam roll besar, atau turn table pemutar piringan hitam. Siapa mampu beli, apalagi saya, pelajar kost-kost-an yang hidup pas-pasan dari kiriman wesel orang tua.
Lumayanlah, kalau sedang kangen mendengarkan lagu-lagu top, datang saja ke Jamu Ngabean, cukup dengan segelas beras kencur, kalau lagi sepi bisa mendengarkan suara Elvis Presley cs lengkap satu album. Mau nambah pesanan lagu sungkan juga, maklum pesanan minumnya hanya segelas beras kencur.
Inovasi yang tergolong maju untuk ukuran saat itu, mungkin bisa disebut café kalau diterapkan saat ini.
Saat ini restoran ini sudah tidak beroperasi, entah mulai tahun berapa, yang jelas seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, promosi dengan cara seperti itu sudah ketinggalan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar