Senin, 26 April 2010

Memindahkan kota di Eropa ke Sragen

Minggu malam sudah beranjak sepi dan hening saat mendekati pukul 10, jalanan sudah semakin sepi, beberapa orang tampak bergegas segera pulang ke rumahnya masing masing. Nampak beberapa orang bergerombol di depan warung makan atau gerobak penjual rokok yang menghidupkan radio transistornya dengan volume lumayan kencang. Di gang-gang di kampung-kampung yang banyak rumah kost, sudah mulai terdengar teriakan ;”uiiiiiiiiik” dari penjaja makanan dengan pikulan yang terdiri dari 2 buah keranjang tenong berisi berbagai makanan ringan tradisional seperti jadah, serabi, kacang rebus atau goreng, jagung rebus dan semacamnya, memenuhi kebutuhan para anak kost yang malam-malam pingin ngemil. Teriakan itu sebenarnya dari kata “terik”, julukan para penjaja makanan semacam ini.

Dari siaran radio yang memancar dari RRI Jogja terdengar alunan gending Jawa yang sendu, yang kemudian disusul suara berat dan berwibawa : ‘Nuwun para pamiyarsa, pinanggih malih kaliyan Keluarga Jogja ingkang dalu menika bade ngaturaken …………..yang kemudian ditutup dengan : …….tehnik lan montase Rahutomo tuwin Samodro, sutradara…. Sumardjono…’.

Itulah sepenggal pengantar pambuka siaran sandiwara radio berbahasa Jawa yang di tahun 70 an menjadi kebanggaan masyarakat Yogya, milik RRI Jogja. Saat itu radio pemerintah yang beroperasi pada jalur SW ini belum punya saingan radio-radio lain kecuali dengan sesama RRI di kota lain. Group sandiwara ini bernama “Keluarga Jogja”, dikomandani almarhum Sumardjono. Siaran mereka tiap hari Minggu malam jam 22.00 selalu ditunggu-tunggu oleh para pendengar setianya.

Naskah yang dimainkanpun tidak tanggung-tanggung, kebanyakan karya novelis kelas dunia seperti Leo Tolstoy, Charles Dickens dan lain-lain, yang umumnya dari daratan Eropa dan yang kemudian dengan begitu apik disadur kedalam bahasa Jawa dengan setting Jawa juga oleh Sumardjono. Pendengar begitu menyatu dengan suasana yang dibangun oleh Sumardjono sepertinya kita berada di suatu desa di Sragen atau Playen Gunungkidul dengan segala dialog bahasa Jawa, lengkap dengan kromo inggil, kromo madya dan ngoko-nya, padahal setting naskah aslinya berada di suatu lokasi di daratan Eropa sana.
Ratusan naskah lahir dari tangannya baik saduran maupun karya sendiri. Ciri yang membedakan, karya sendiri biasanya tamat dalam satu episode sedangkan yang saduran selalu berseri dengan beberapa epidose. Seandainya JK Rowling saat itu sudah menghasilkan Harry Potter saya yakin tidak akan dilewatkan oleh Sumardjono. Alangkah serunya, Harry Potter yang entah dinamai siapa berbahasa Jawa dan hidup mungkin di Kebumen atau Jepara sana.

Tulang punggung group ini disamping Soemardjono yang bertindak selaku sutradara, penulis dan penyadur naskah, adalah pemain top dengan kekhasan karakter masing-masing, yang masih saya ingat antara lain Moh Habib Bari, Hastin Atas Asih, Bagus Diarto, Maria Kadarsih. Tidak kalah penting peranannya adalah para teknisi yang menyiapkan rekaman dengan segala sound effect dan ilustrasi yang menjadikan siaran ini begitu hidup dan menghanyutkan para pendengarnya ke suasana cerita bersetting Jawa. Asyiknya siaran ini bebas dari iklan yang mengganggu konsentrasi pendengar karena memang saat ini RRI belum mengenal iklan.

Siaran ini nyaris tanpa pesaing, maklum waktu itu fasilitas hiburan lewat media elektronik yang ada masih sangat terbatas, belum ada radio FM, belum semua orang mampu memiliki pesawat televisi. Para pendengar radio kebanyakan masih berorientasi ke RRI Jakarta (untuk siaran berita), Radio Australia, VOA, BBC, Radio Hilversum Belanda (untuk mendengarkan lagu-lagu barat baru lewat siaran tangga lagu-lagu mereka).

Persaingan justru datang dari intern RRI Jogja sendiri yaitu siaran Dagelan Mataram, Ketoprak Mataram dengan tokoh idolanya Tjokrodjijo dan Kadariah, dan Pangkur Jenggleng-nya Basiyo.Tetapi persaingan itu tidak cukup signifikan karena disiarkan pada hari yang berbeda dan mempunyai segmentasi pendengar yang berbeda pula. Yang membedakan, para pendengar ketiga acara yang disebut terakhir ini begitu siaran berakhir mereka sudah merasa puas dengan rasa terhibur, sementara para pendengar setia Keluarga Jogja tidak sekedar puas, tetapi masih akan meneruskan dengan pembicaraan hangat antar pendengar pada keesokan harinya, apakah itu di kantor-kantor, pasar dan setiap kerumunan orang. Apalagi kalau cerita yang disajikan adalah karya novelis dunia yang berhasil diboyong oleh Soemardjono kealam Jawa. Luar biasa !

Bagaimana dengan kondisi mereka pada live event ? Saya pernah berhasil mengundang mereka untuk pentas secara live di panggung, namun sayang sekali hasilnya tidak sehebat saat di udara. Ada faktor-faktor non teknis yang menghambat keberhasilan pentas pangung secara live, pertama postur tubuh para pemeran tidak sesuai dengan karakter suara mereka, seperti misalnya seorang pemeran yang dalam versi udaranya mengesankan sosok seorang yang tinggi besar dengan suara berat berwibawa, ternyata sosok sebenarnya walaupun vokalnya tetap berat dan berwibawa tetapi postur tubuhnya sama sekali tidak seperti itu, dan yang kedua faktor teknis dimana gedung tempat pertunjukan tidak memiliki perangkat sound system yang memadai, maklum saat itu belum ada persewaan perangkat sound system dengan output ribuan watt seperti sekarang. Walau demikian ketidak berhasilan live event ini tidak mengeurangi keberhasilan mereka pada pentas udara.

Group ini mulai surut kepopulerannya saat tokoh-tokohnya pindah tugas ke instansi lain, seperti ke RRI/TVRI Pusat, TVRI Yogya. Maria Kadarsih sebagai penerus Sumardjono mencoba menghidupkan dan membangkitkan kembali group ini, tetapi nampaknya tidak begitu berhasil, apalagi dengan datangnya radio-radio swasta di jalur AM dan FM, dengan jenis serial sandiwara bernuansa silat seperti Saur Sepuh karya Nicky Kosasih dan lain-lain.

Bagaimanapun kenangan itu masih ada pada saya, dengan naskah cerita yang saya anggap favorit adalah Bekisar, sebuah naskah yang disadur dari novelis terkenal Rusia (sayang saya lupa nama dan judul novelnya), sedangkan naskah yang pertama kali saya ikuti adalah Endang Juwiri, sebuah cerita mistis yang disiarkan bertepatan dengan malam 1 Suro.

Tokoh Keluarga Jogja yang masih bisa saya jumpai di Facebook adalah Moch Habib Bari, yang sayangnya mungkin karena kesibukannya tidak merespons message yang saya kirim. Sebenarnya saya ingin menggali lebih dalam tentang Keluarga Jogja dari pelaku aslinya. Selamat mas Habib Bari !

Gambar hasil penelusuran Google.

1 komentar:

  1. Pak, menurut Jurnal Humaniora Volume XI, No. 2/1999, Pada tahun 1970-an, Vildanden sangat populer di kalangan para pecinta sandiwara radio berbahasa Jawa dengan judul Bekisar yang disiarkan setiap Minggu malam sesudah Warta Berita pukul 22.00 WIB .

    BalasHapus